Pekan lalu saya membawa anak-anak menyaksikan film Naura dan Genk Juara (NGJ). Setelah menyaksikan sendiri film tersebut, ada banyak notes di dalam kepala saya yang selama film mengalir berkali-kali memberikan pemahaman kepada anak-anak. Saya merasa kecolongan...
Ada yang sudah menuliskan tentang film tersebut, namun saya ingin menuliskan lagi dari sudut ibu-ibu yang mendambakan film mendidik di tengah gempuran film-film dewasa, horor, maupun film kualitas sampah yg dibandrol sebagai film bergenre drama dan remaja...
Mungkin saya akan banyak membandingkan dengan film sejenisnya, Petualangan Sherina, karena saya melihat film ini ingin mengulang gemilangnya film PS (Petualangan Sherina).
Jika kita melihat tema, saya melihat NGJ seperti bingung dengan temanya sendiri: keberanian, pertemanan, atau kompetisi? Bukankah bagi anak-anak, hal itu juga akan menyulitkan mereka? Karena anak-anak butuh fokus pada satu hal besar.
Mungkin karena tema yang bingung tersebut, cerita yang ada jadi tidak smooth mengalirnya, adegan antar scene pun terlihat sangat kasar, melompat-lompat.
Ini jelas berbeda dengan PS yang tema besarnya sudah bisa saya dapatkan saat saya kecil meski jaman dulu google belum ditemukan. PS jauh lebih fokus dengan temanya: persahabatan, di mana adegan demi adegan dirangkai sedemikian rupa oleh Miles untuk mengantarkan kita menuju satu tema itu.
Penilaian saya ini pun diiyakan oleh salah seorang penulis review film ini yang mengatakan bahwa penulis skenarionya terlihat gagap dalam bercerita.
Dalam cerita di filmnya sendiri pun banyak sekali kejanggalan yang saya temui. Misalnya adalah tidak adanya guru pendamping dari tiap sekolah untuk mendampingi anak2 murid mereka di camp tersebut. Lalu pembagian tenda yang menyatukan antara anak laki-laki dan anak perempuan, "kalian dari sd Angkasa? Tenda kalian di sana ya."
Lalu bagaimana mungkin camp yg isinya anak2 SD bisa tidak ada pengawasnya saat malam hanya karena semua harus mencari seorang anak yg hilang?
Lalu untuk percobaan-percobaan sciencesnya? Saya rasa itu hanya pemanis buatan. Karena tak ada penjelasan sama sekali, misalnya kelompok a membuat apa, dari apa, fungsinya apa. Bahkan hasil karya Naura sendiri pun seperti tak dihargai, terlihat dari cepot (hewan peliharaan Kipli) yang membawa kabur GPS naura tapi tdk dicari.
Penghargaan terhadap anak pun kurang, ini bisa ditemui dari respon bu Laras pada laporan Naura dan teman2nya mengenai Okky yg hilang, dan juga cara panitia camp berkata-kata pada tokoh Bimo yang justru seperti merendahkan bakat seorang anak.
Sementara untuk busana, saya pun banyak mengernyitkan kening. Jika saya dikatakan tidak modern dan kekinian karena tak terbiasa melihat anak SD memakai hot pants seperti yang dikenakan oleh Naura di hampir sepanjang film (3/4 film), silakan saja. Tapi sebagai seorang ibu yang logis yang memiliki pula pengalaman hiking, tracking, atau sekadar camping di gunung2 dan bukit2, saya akan tetap dengan pendirian saya: NO HOT PANTS! Selain tak terterima dengan budaya kita, memakaikan hot pants di gunung berhutan adalah pilihan yang teledor! Dingin iya, serangga mengintai iya, dan bahaya lainnya juga sangat mungkin.
Di gunung pakai wedges pun sepertinya wajar-wajar saja dalam film tersebut setrong kali...
Hal lebih logis dilakukan oleh penata busana, sutradara, dan produser film PS yang tidak menjadi kormod alias korban mode. Tokoh Sherina mengenakan baju lengkap dengan jaket dan celana panjang khas hikers meski petualangannya tidak seekstrim tokoh Naura yang sampai gunung.
Hal paling saya soroti dalam film ini, sama seperti yang disoroti oleh akun seorang bunda bernama Maya, adalah tendensius beragama!
Okelah saya masih bisa menerima jika saya tidak menemukan SATU PUN TOKOH BERHIJAB di dalam film anak-anak itu, film anak2 Indonesia yg mana Indonesia sebagian besar muslimahnya mengenakan hijab dengan segala pernak perniknya, perhatikan saja mama yang suka antar anak di Indonesia saat ini yg hits dengan hijab2 mereka. Tapi yang tidak bisa saya terima adalah PELECEHAN TERHADAP KALIMAT2 SUCI UMAT ISLAM!
Saya yakin seyakin-yakinnya bahwa membuat film ini bukan sehari dua hari selesai, ada proses panjang di sana, kan! Mulai dari pembuatan naskah, skenario, meeting sana sini untuk mematangkan ceritanya, alurnya, skenarionya. GA MUNGKIN BISA SLEBOR memasukan SENTIMEN AGAMA, kecuali memang ADA AGENDA TERTENTU!!!
Islam dicitrakan sebagai penjahat berjenggot, yang meski menteriakan takbir, sering istighfar, namun kelakuan bejat, bahkan di film dinamai trio licik!
Apa susahnya memasukan kata-kata lain untuk dijadikan gimmick? KURANG IDE?!
Belajarlah pada Miles dan timnya yang dengan kreatif membuat kata2 macam 'Trembelane' sebagai kata2 khas tokoh Kertaradjasa si penjahat!
Sungguh, saya sama sekali susah melepaskan prasangka saya terhadap produser dan timnya (yg memang saya melihat daftarnya adalah orang2 yang sangat membela seorang tokoh politik) dari keberpihakan mereka. Padahal banyak orang Islam di tim itu, tokoh utama dan keluarganya pun muslim, namun mengapa sampai bisa melukai ummat muslim dengan penokohan jahat macam itu? Bukankah ini adalah cara memupuk kebencian terhadap orang lain, terhadap sebuah agama! Katanya menjunjung kebhinekaan?! Slogan saja, ternyata!!
Politik boleh berbeda, namun untuk mendidik generasi bangsa, haruslah sama: BIJAKSANA!
Selain sentimen yang sangat jahat terhadap Islam, saya juga melihat kengerian lain di film ini!
Tokoh pria pemimpin para rangers di camp yg diperankan oleh Totos Rasiti (Jin di salah satu iklan rokok) yg ternyata adalah otak dari trio licik, memperlihatkan penjahat psikopat!
Di depan seorang wanita bernama Bu Laras, dia terlihat sangat baik, genit (ini jg sangat tidak layak dimunculkan di film anak-anak), dan ramah. Namun dia sangat jahat dan tega terhadap anak-anak, dan saat melakukan kejahatannya itu, dia masih menggunakan term2 yang sok imut seperti 'bobo' sebagai pengganti kata 'tidur' yang mana ini seperti ciri khas psikopat. Dan di akhir-akhir film tokoh pria ini pun mengatakan bahwa jika ia tidak melakukan pencurian satwa, bagaimana dia akan kaya!
Sayang sekali, dengan bakat seorang Naura yang besar, lagu-lagu yang liriknya bagus, dan pastinya modal pembuatan film yang tidak kecil, film Naura dan Genk Juara justru dijadikan film yang memilki agenda politik tersendiri!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H