Percakapan kami selanjutnya mengalir begitu saja karena bapak penjual balon karakter ini mau menjawab semuanya. Ia menjelaskan bagaimana awal mula berjualan sampai akhirnya punya satu ruko khusus balon karakter di pasar. Hari ini ia sudah bisa mempekerjakan 10 orang.
Bapak penjual balon karakter menitipkan satu pesan sebelum aku pergi, "jualan itu prosesnya nggak instan mbak. Saran saya kalo mbak mau jualan, cari yang modalnya nggak terlalu besar. Apalagi kalo jualan cuman jadi sambilannya mbak."
Aku menikmati obrolan singkat ini dan sepertinya aku ingin melanjutkannya lagi dengan pedagang lain. Menurut info dari bapak penjual balon karakter tadi, setiap pedagang di terminal sudah saling mengenal. Kalo lagi jualan memang kayak ngga saling kenal karena semuanya harus fokus dengan pekerjaan masing-masing.
Selanjutnya aku memilih pedagang makanan. Kebetulan aku belum sarapan. Menu yang paling terkenal di terminal ada soto ayam kampung. Warung ini selalu ramai. Orang yang makan soto ayam kampung datang dari mana-mana. Popularitasnya hampir setara dengan terminal atau mungkin lebih populer dari terminal, dan jelas bukan ini pilihanku.
Di terminal ada banyak aneka makanan, ada soto ayam kampung, soto santan, soto kuah bening, mie ayam, bakso, nasi goreng, gorengan, gado-gado, pecel, martabak, ketoprak, karedok dan lainnya. Makanan yang kupilih? Jelas yang tokonya paling sepi. Aku bukan sekedar ingin sarapan, aku ingin mengobrol dan menemukan jawaban, apa menariknya jualan.
Aku berjalan menuju warung mie ayam. Katanya mie ayam di sini enak tapi hanya ramai saat jam makan siang, kalau pagi yang ramai bangsa soto-sotoan, dan paling ramai soto ayam kampung.
"Sudah lama jualan di sini bu?" tanyaku sembari menunggu pesanan dibuatkan. Sepertinya aku masuk ke warung yang tepat lagi. Ibu penjual mie ayam ini sangat ramah. Ia menjawab semua pertanyaanku tanpa merasa risih karena aku banyak tanya. Namanya Bu Sulas
Dari obrolan kami sepanjang aku sarapan di warung ini, aku jadi tau kalo Bu Sulas adalah orang tua tunggal. Ia punya 2 anak yang keduanya masih sekolah, satu SMP satu lagi SMA. Keduanya kadang bantu-bantu di warung, tapi Bu Sulas lebih senang kalau anaknya belajar daripada bantu-bantu.
"Justru saya yang melarang mereka ke sini mbak. Saya ngga mau mereka jadi kayak saya. Jadi dari kecil sudah harus dibiasakan hidup yang beda dari ibunya."
Selanjutnya aku jadi tau kalau kedua anaknya bersekolah di SMP dan SMA swasta. Bu Sulas memilihkan sekolah terbaik dan memenuhi seluruh kebutuhan kedua anaknya. Keduanya pun dibiarkan ikut kegiatan ekstrakurikuler sekolah, padahal daftarnya saja sudah mahal.
"Harus terbiasa begitu mbak. Pikiran mereka harus setara dengan saingannya biar bisa bersaing. Saya paham resikonya, tapi ini pilihan saya. Untungnya saya jualan mbak, jadi penghasilannya kadang naik, kadang cukup. Sisanya ya pinter-pinter saya ngatur keuangan di rumah."