Suatu masa aku berdiri diatas langit,.. aku keluar sesaat dari ragaku yang sedang terbaring ditempat tidur. Aku terbang melayang, melesat bebas kemanapun aku mau. Tibalah aku di sebuah pohon besar, dekat sungai yang membelah bukit tak bertuan, aku tertarik pada seseorang yang tergeletak di bawah pohon itu. Kulihat tubuh lemah itu sedang nyenyak terlelap oleh mimpi indah.
Nikmat sekali nampaknya ia tertidur, aku turun mendekat pada jasad lemah ini.
“Assalammualaikum, hei fulan, nyenyak sekali tidurmu,... apa kau merasa nyaman tidur beralas tanah dan berselimut angin yang dingin ini ?,... tak adakah tempat yang pantas bagimu untuk tidur, apakah kau tidak memiliki tempat tinggal ?” aku bertanya kepadanya
Tanpa membuka matanya,..
Dan masih asyik bermimpi, jasad lemah itu menjawab “Waalaikumsalam, dimana aku tidur, itulah tempat tinggalku, langit ini atapnya, dan tanah ini adalah lantainya, jika yang kau maksud itu rumah maka bumi ini adalah rumahku,..”
“Maaf fulan,.. yang kumaksud adalah rumahmu yang sebenarnya,... seperti layaknya manusia yang lain, ia memiliki dinding, mempunyai atap, memiliki jendela dan pintu… engkau memiliki tempat yang privasi,... tak adakah tempat seperti yang kuceritakan padamu?,...” tanyaku
“Jika kau bertanya rumahku yang sebenarnya,.. rumahku jauh dari sini, ia melewati ribuan masa, rumahku sangat indah mengalahkan semua istana yang pernah engkau lihat, dindingnya terbuat dari batu permata yang diukir, luasnya sembilan puluh mil ukuran alam ini. Dan memiliki banyak kamar yang disetiap kamar ada penghuninya, ia adalah bidadariku, ia menjadi pelayanku yang setia.”
“Maksudmu ?... dimana itu ?.., kalau benar itu, kau tidak terlihat seperti seorang sultan, maafkan aku, engkau gelandangan berpakaian kotor bagiku, tubuhmu kurus, seperti belum makan seharian ini, mana mungkin engkau memiliki rumah seindah itu, rumah seperti itu hanya bisa dimiliki seorang sultan…”
“Ha.. ha.. ha…, hei dengar ya,.. siapapun engkau,... aku ini seorang khalifah di bumi ini, dengan tanganku aku berusaha menjaga amanah dari Tuhanku.”
Kemudian ia berucap lagi “Aku tak pernah mengambil yang berlebihan dari apa yang aku butuhkan. Aku tunaikan kewajibanku semampu aku berjalan,.. sekuat aku berdiri,.. sebesar hatiku yang tak ingin terkotori, oleh nafsu hewani yang ada di jasadku”
“Maaf fulan, aku masih tak mengerti arah pembicaraanmu,.. kau ini nampak miskin bagiku, kenapa engkau bercerita layaknya orang berpunya, kau seolah tak punya beban didalam hidupmu…”
“Sampai kapanpun engkau tak akan mengerti,.. bila yang ada dipikiranmu saat ini hanyalah sebuah materialitas,” aku diam dan tidak bertanya lebih jauh, kemudian jasad itu melanjutkan ucapannya.
“Aku memang miskin bagi matamu, tapi bukalah mata batinmu, akan kau lihat sebuah kebenaran dari ucapanku”
Ahhh,… orang gila,.. lebih baik aku tinggalkan saja.
“Maafkan aku sekali lagi, cukup bagiku bertanya padamu, ada sesuatu yang harus kucari, aku pergi dulu,.. Assalammualaikum”
“Waalaikumsalam, maaf juga atas sikapku, tapi pahamilah yang aku ucapkan tadi, Aku tak pernah mengambil yang berlebihan dari apa yang aku butuhkan. Aku tunaikan kewajibanku semampu aku berjalan,.. sekuat aku berdiri,.. sebesar hatiku yang tak ingin terkotori, oleh nafsu hewani yang ada di jasadku”
Jiwaku terbang kembali melesat seperti anak panah yang dilepas, hingga aku melewati bukit dan pegunungan. Dibalik pegunungan aku melihat sebuah peradaban, dan ditengahnya berdiri istana megah. “Ahh,.. mungkinkah ini rumah si gelandangan tadi, coba aku lihat…” aku turun dan langsung masuk menembus dinding dan menuju sebuah kamar yang besar dan indah, penuh ukiran dan tempelan batu permata, persis seperti yang diomongkan gelandangan tadi.
Ditengah ruangan megah itu ada sebuah tempat tidur besar, dibuat dari kayu oak, dikelilingi empat pilar kayu yang besar, penuh ukiran dan dibeberapa sisi dilapisi emas murni. Tapi ternyata ada sesorang disana, dan aku yakin sekali bukan si gelandangan tadi, karena sosok itu besar, gagah, wajahnya tampan dan bersih terawat, pakaian tidurnya saja terbuat dari sutra. Kepalanya disangga oleh dua buah bantal dari bulu angsa.
Tapi aneh, walau wajahnya terlihat tampan dan bersih, ia tidak setenang si gelandangan tadi. Tidak terlihat senyuman, yang ada hanyalah wajah yang ketakutan, wajah yang penuh kecemasan. Sebentar – bentar berbalik ke kanan, lalu balik ke kiri, dan terdengar keluhan yang tak jelas dari bibirnya.
“Assalammualaikum, maafkan aku yang lancang masuk ke istanamu, apakah engkau seorang sultan?” aku bertanya kepadanya
“Waalaikumsalam, ya aku seorang sultan, siapa engkau?” ia menjawab pertanyaanku seperti gelandangan tadi, tetap tidur dan tak sekalipun membuka mata.
“Aku hanya seorang hamba biasa, boleh aku bertanya kepadamu, sultan?”
“Apa yang hendak kau ketahui dariku? bagaimana engkau bisa melewati para penjaga istanaku, apakah mereka tertidur?, lihat saja nanti, akan kupecat mereka !!!..”
“Itu tidak penting sultan, aku datang tanpa mereka tahu, aku dapat menembus dinding istanamu, karena aku sebuah jiwa tanpa raga, dan percayalah aku tidak akan membahayakan jiwa dan kerajaanmu…”
“Baiklah, aku tidak akan memecat mereka…”
“Aku ingin bertanya setelah itu aku akan pergi, aku melihat engkau tidur sultan,.. tapi tidak kulihat kedamaian di wajahmu, padahal engkau tidur ditempat seindah ini…”
“Bagaimana aku bisa tidur dengan nyaman? Hatiku selalu dihantui kecemasan…”
“Apa yang membuatmu cemas sultan? Segala yang kaubutuhkan sudah tersedia, apa saja yang kau inginkan para pembantumu selalu siap membantu.. para pengawalmu menjaga dirimu dua puluh empat jam penuh, tidakkah itu cukup bagimu sultan ?...”
“Engkau benar,.. tapi aku tetap merasa cemas, walaupun aku dijaga, buktinya engkau bisa menyusup ke istanaku ini, aku bisa saja mati setiap saat,.. hei… tunggu sebentar, jangan – jangan… apakah engkau malaikat yang ditugaskan Tuhanku untuk mencabut nyawaku?” tanya sultan itu kepadaku
“Ha... ha… ha… bisa saja sultan ini,.. kalau aku malaikat pencabut nyawa, untuk apa aku bertanya macam – macam padamu, langsung saja aku cabut nyawamu, tapi rasa ingin tahuku yang besar tentang kecemasanmu, yang membuatku datang melihatmu…” aku tertawa geli mendengar jawaban sultan
“Baiklah,.. aku ceritakan padamu, aku cemas karena hatiku selalu takut,.. karena ternyata aku benar – benar seorang sultan,..”
“Aku berharap ini mimpi, mimpi bahwa aku seorang sultan”
“Aneh,.. tapi memang engkau seorang sultan, cobalah buka matamu, bangun dari tidurmu, lihat !,... engkau seorang SULTAN,.. bukan seorang gelandangan yang sedang tidur, di bawah pohon besar dekat sungai yang membelah bukit tak bertuan...”
“Bagaimana engkau tahu tentang mimpiku?” tanya sultan
“Maksudnya apa sultan ? Memang engkau bermimpi apa ?” tanyaku
“Persis yang kau ceritakan tentang gelandangan itu… aku bermimpi menjadi si gelandangan yang sekarang sedang tidur, di bawah pohon dekat sungai itu...” jawab sultan
“Apaa… tidak salahkah telingaku mendengarnya sultan?” tanyaku lagi
“Tidak, tidak sedikitpun, aku tidak mau terbangun dan mendapati diriku ternyata seorang sultan, karena aku dihinggapi perasaan takut, kalau rakyat yang kupimpin inimemberontak, dan mereka akan merebut kerajaanku”
“Aku takut tidak bisa berbuat adil untuk mereka, dan mereka akan menuntut aku dihadapan Tuhanku. Bisakah kau bayangkan…” sultan diam sejenak,.. kemudian..
“Aku harus memahami mereka,.. aku harus bisa menjadi petani bagi rakyatku yang seorang petani, dan aku harus berpikir sebagai saudagar menghadapi rakyatku yang seorang saudagar, aku harus menjadi guru menghadapi rakyatku yang miskin dan bodoh, aku harus menjadi panglima menghadapi rakyatku yang lemah,….”
“Dan… aku… aku harus bertindak menjadi hakim yang arif dan bijaksana menghadapi rakyatku yang tertindas, bila aku berkhianat kepada mereka, apa yang aku miliki nanti,.. mereka akan membalasnya, mereka akan menghakimiku,.. aku akan menjadi orang yang paling hina di hadapan Tuhanku”
“Itulah kenapa aku cemas,..” sultan terlihat emosi dalam bercerita
“Makanya aku bermimpi menjadi seorang gelandangan yang lebih bebas memilih, menunaikan kewajibanku sekuat aku berdiri dan semampu aku berjalan” aku terkejut, aku teringat ucapan gelandangan itu,.. bagaimana mungkin bisa sama dengan yang diucapkan gelandangan tadi.
“Kalau sultan sudah bermimpi menjadi gelandangan itu, kenapa sultan tidur masih gelisah dan terlihat cemas?” tanyaku sekali lagi
“Jelas aku cemas !!,"
"Aku sudah bermimpi jadi gelandangan itu, tapi gelandangan itu malah tidur dan bermimpi menjadi seorang SULTAN,"
"Makanya aku cemas…”
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI