Mohon tunggu...
Windi Wilanda
Windi Wilanda Mohon Tunggu... Mahasiswa - Tangan Makna

Aku hanya pemimpi, yang ingin memberi manfaat bagi alam dan sesama.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Eksistensi Diri Diakui dengan Eksis

4 Oktober 2018   16:32 Diperbarui: 4 Oktober 2018   16:36 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

When you care about someone,

You can not just turn that off because you learn they betrayed you.

-Paula Stokes

 

Dalam pengelompokan karakter menurut psikolog, aku termasuk pribadi yang introvert, maksudnya aku lebih menikmati kesendirian dibanding keramaian, sibuk berpikir banyak hal. Dengan diriku sendiri aku bisa beradu argumen, berbicara, bahkan kreativitasku lebih berkembang saat aku sendiri.

Ketika di SMA, aku tidak bisa memulai untuk bergaul dengan siapa saja, aku hanya bergaul dengan orang-orang yang mendekatiku saja, hasilnya hanya sedikit teman yang aku miliki. Beberapa teman lamaku di SMP bertanya, 'Mengapa kamu tidak bergabung dengan geng Ulfah, Windi? Atau dengan geng Alifah? Paling tidak dengan geng Iis?' Aku sama sekali tidak tertarik bergabung dengan geng siapa pun. Aku akan menjadi diriku sendiri dengan kesendirianku, pikirku.

Satu semester berjalan, mulai banyak konflik terjadi di dalam kelas. Merasa dikhianati oleh orang terdekat adalah hal paling menyakitkan dalam dunia pertemanan, seperti yang dikatakan William Blake, bahwa lebih mudah untuk memaafkan seorang musuh dari pada seorang teman. Selain itu konflik dengan guru Fisika. Bagi mereka yang dekat dengan beliau tentu saja memiliki sakit hati yang lebih, sehingga mengubah kebiasaan diantara mereka, seperti candaan, curhat dan bermanja-manja. Namun aku merasa biasa saja, karena aku tidak suka cari perhatian terhadap guru sebagaimana teman-temanku. Menurutku, untuk menjadi terbuka dengan guru tidak mesti murid yang berusaha mendekat-dekati, namun gurulah yang harus merangkul muridnya. Aku merasa bahwa aku memiliki pemikiran yang berbeda dengan teman-temanku.

Setiap ada sesuatu dalam kelas, demi kemajuan kelas, seperti memperindah kelas, mensolidkan kebersamaan, dan lain-lain, aku tidak pernah tahu-menahu. Aku tidak pernah diajak diskusi ataupun ditanya mengenai masalah itu. Mungkin karena kebiasaan aku tidak ikut campur apapun di kelas. Karena itu pun aku pun tidak pernah peduli.

Suatu ketika, aku ditegur orang-orang tereksis di kelas, 'Salahmu kelas XI IPA 3 mendapat penilaian jelek para guru!'

'Gara-gara kamu kelas kita dicap terburuk, tidak solid!'

'Cobalah untuk gabung! Yang dicap kan jadi semuanya..' Bukannya aku merasa bersalah, aku malah merasa bahagia dengan kekesalan mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun