[caption id="attachment_261641" align="aligncenter" width="300" caption="Tulisan tangan original para kolaborator. Senyum."][/caption] Whoa! Kembali Sang Waktu berbaik hati mempertemukan antara Mba Ita, Mba Dewi, dan aku. Udara Bandung pada Minggu siang menjelang sore yang bersahabat, membimbing langkah kakiku untuk bertemu Mba Dewi terlebih dahulu di kantornya, dan kami sama-sama berangkat untuk menjumpai Mba Ita di salah satu mal di kawasan Sukajadi Bandung. Dengan perjuangan yang maksimal, kami susuri jalanan di Kota Bandung yang bukan merupakan daerah "jajahan" kami. Psssttt. Asal tahu saja, kami jarang pergi ke kawasan ini. Jadi, mohon dimaklumi apabila kami agak kebablasan malah masuk ke Jalan Setiabudi, di mana seharusnya dari perempatan Jalan Cemara itu kami ke kiri, ini malah ke kanan. Dengan tawa renyah berderai di antara rimbunnya pepohonan, kami harus berputar lagi, karena one way. *Mba Dewi, jangan ketawa sendiri ya, pas baca bagian ini (bade kamana atuh meni rurusuhan nyandak ka kanan, da sanes bade ka Lembang)* Mba Ita, ini aku translate ya, nanti dikira Mba Ita aku bicara 'jorok' karena Mba Ita tidak mengerti Bahasa Sunda :D (mau ke mana, koq rusuh-rusuh ngambil ke kanan, kan bukan mau ke Lembang). Akhirnya kami sampai juga di tujuan. Setelah kami mendapatkan tempat parkir (bukan di parkiran mal itu, karena tempat parkir mal sudah penuh), dari situ kami melihat sebuah mal yang megah, dengan tempat parkir bersusun (entah berapa lantai kami tidak menghitungnya). Sesampainya di food corner Mr. Sanders, sejenak ada yang memanggil namaku. O, ternyata Mba Ita and friends ada di lantai atas. Akhirnya Mba Dewi dan aku bisa memeluk lagi Mba Ita. Kami berbincang-bincang hangat, dan di antara itu, aku nyeletuk begini, "Kita buat kolaborasi puisi yuk. Bertiga, di sini.... Siapa yang mau mulai duluan? Ini ada tissue. Nanti tolong dituliskan di sini, biar bisa saling tahu tulisan para kolaborator di puisi ini. Jangan lupa, bubuhkan tanda tangannya juga ya." Kataku sambil mencari pen di tasku. Beruntung, pen itu ada. Pen warna biru! Sebelum sampai di tempat ini, aku sempat mengirimkan pesan via BBM kepada adikku tersayang Nilla. Aku bercerita bahwa sebentar lagi akan bertemu dengan Mba Dewi dan Mba Ita. Jadi aku tidak bisa "menemaninya" bobo siang. Lalu, dia menitipkan salam untuk Mba Dewi dan Mba Ita. Nah, saat aku menyampaikan salam Nilla kepada Mba Ita dan Mba Dewi, sambil sekalian bercerita sedikit tentang Nilla, Mba Ita sibuk dengan device-nya. Seiring selesainya perbincangan tentang Nilla (Mba Ita juga memperhatikanku saat bercerita meski tangannya sibuk dengan device nya). Kemudian Mba Ita menyerahkan device nya kepadaku. Ternyata, Mba Ita sudah memulai bait pertama. Aku lalu menyerahkannya kepada Mba Dewi, siapa tahu Mba Dewi yang akan meneruskan bait pertama dari Mba Ita. Namun Mba Dewi menyerahkan kembali device itu kepadaku. Automatically, aku yang meneruskan bait yang sudah ditulis oleh Mba Ita. Setelah aku selesai menuliskan baitku, aku menyerahkannya kepada Mba Dewi. Pada device Mba Ita, satu karya puisi telah terangkai oleh tiga pribadi. Oke, satu puisi telah rampung. Kini kami mulai menuliskan bait-bait puisi itu pada tissue makan yang sudah tersedia di sana, yang sudah aku gelar sejak aku melontarkan ide membuat kolaborasi. Mba Ita menulis, kemudian aku, dan terakhir Mba Dewi. Done! Tanda tangan juga sudah kami bubuhkan. Prasasti persahabatan ini langsung aku abadikan dengan device ku. Sekarang bagi-bagi tugas. Mba Dewi kebagian posting puisi kolaborasi ini. Lalu aku kebagian tugas posting tentang pertemuan ini dan proses dibuatnya puisi kolaborasi. Sementara Mba Ita free, karena tidak ada jaringan, katanya. Kami tersenyum lebar, dan Mba Ita berteriak "Yes!" Sebuah persahabatan manis telah terukir menjadi satu karya sederhana. Ia mencoba menggoreskan masa dengan tinta biru di atas kertas tissue. Kelak, ia akan menjadi saksi persahabatan termanis yang disaksikan oleh dunia. Kata Mba Dewi, ini sebagai Prasasti Persahabatan. Aku berseloroh begini, "Tissue bersejarah ini, nanti akan aku bingkai..." *** Special thanks to: Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah membentuk persahabatan ini mulai dari embrio sampai seindah ini; bisa melihat senyum dari dekat, menikmati sesuatu bersama, memeluk, menyentuh, hingga mencubit. Terima kasih untuk Mba Ita dan Mba Dewi yang telah berkenan meluangkan waktunya demi persahabatan ini. Mba Ita, harus kami akui, bahwa aku dan Mba Dewi kalah dengan orang Jerman yang lebih mengetahui tentang Bandung. Kiranya ikatan batin ini tak akan terhenti sampai di dunia fana ini, namun selamanya, hingga kita berada di alam yang sesungguhnya: keabadian. Salam manis penuh kasih, - diana -
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H