Kejadiannya Oktober tahun lalu. Tetapi hingga kini masih saja membekas, berkesan dan sepertinya tak akan bisa kulupakan.
***
Aku dan tim kecil pergi untuk memenuhi tugas dari kantorku. Kami berenam plus satu sopir melaju di atas kijang kapsul pergi hari Rabu malam, 12 Oktober 2011 ke Yogyakarta untuk mengunjungi dua lembaga di sana.
Sudah lama sekali aku ingin melihat saat-saat malam bermandikan cahaya rembulan utuh yang benar-benar biru asli, tanpa penerangan sinar buatan manusia. Dan, di malam itu, aku dapat melihat utuh sinar biru itu di jalanan yang kami lalui dengan melihat ke belakang, karena keadaan yang sepi; seringkali hanya mobil kami saja yang melintas. Sendiri. Ada perasaan sendu yang mengharu biru tiba-tiba menyeruak, melihat persawahan yang luas itu disinggahi sinar rembulan. Ada perasaan heran saat aku melihat seorang wanita di malam gelap pukul dua dini hari muncul dari gubuk gelap gulita. Ah, siapakah gerangan dia? :D
Di Malioboro Special moments, 14 Oktober 2011 dibuka dengan perjalananku subuh itu dari penginapan berjalan kaki ke Pasar Beringharjo. Haha... Ternyata belum buka! Kupikir, pasar ini sama dengan pasar-pasar yang ada di Bandung. Mulai subuh pun sudah beraktivitas. Tetapi ternyata beda. Kami berjalan bertiga. Cewek semua. Satu diantaranya pengen pulang ke penginapan pake becak. Dia sedari tadi sudah ngomel-ngomel. Daripada terjadi hal-hal yang lebih keruh lagi, maka temanku berinisiatif menemani temanku itu untuk pulang dengan naek becak. Aku mengalah saja. Karena aku ingin menikmati lebih lama lagi udara di sini, dengan berjalan kaki. Di sepanjang Jalan Malioboro sepagi itu sudah banyak yang berjualan. Ada pecel, ada bubur, ada gudek tentu saja. Aku memilih bubur menjadi sarapan specialku pagi ini, meski di penginapan dikasih sarapan, tapi aku ingin makan bubur itu sendirian di sini. Bubur yang ditaburi sayur santan tempe berasa manis. Aku benar-benar ingin menggauli Yogyakartaku ini sepuasku. Kapan lagi makan bubur berkuah ini pagi-pagi, di Yogyakarta sendirian? Ini bukan nightmare. Tetapi ini sebuah berkat yang tersembunyi bagiku. Begitulah pikirku. Setelah acara makan sendirian, dan minum teh tawar itu sendirian pula dan mengucap "matur nuwun" kepada pedagang bubur itu, aku kembali melangkahkan kakiku ke penginapan. Aku berjalan dengan peluh yang membasahi tubuhku. Tak disangka dan tak diduga, temanku satu lagi yang menemani temenku naek becak tadi, datang menjemputku. Dia berteriak memanggil namaku dengan penuh kekhawatiran. Katanya, dia takut aku ada yang nyulik. Haha.. ada-ada saja. Siapa pula yang mau menculik aku? :P Tawaku berderai. Namun, tak lama mataku berkaca-kaca. Dibalik semua itu, aku sungguh terharu dengan temanku yang berinisiatif menjemputku. Aku berterima kasih kepadanya. Meskipun sesungguhnya, aku tak merasakan sesuatu kesendirian meski harus sendirian. Tak lama temanku ini bilang ingin sarapan. Maka, gantian dia kini yang akan sarapan. Aku temani dia dengan minum teh tawar hangat, dan dia sedikit membicarakan keegoisan temanku yang naek becak itu. Kalo ga mau jalan ya kenapa dia ikut? Katanya. Ah... Maafkan, aku udah sedikit bergunjing di pagi hari itu. Tapi kami tak berlama-lama membicarakannya. Lebih baik menikmati pagi yang bernuansakan Malioboro. Indah rasanya melihat temanku asyik menikmati pecel dan mereguk pelan teh tawar hangat yang disajikan ramah oleh pemilik angkringan ini.
Di Lava Tour Aku pernah bermimpi untuk pergi ke Lava Tour di Desa Kinahrejo. Tetapi pada Bulan Juli kemaren, pada saat kami ke Yogyakarta untuk acara rekreasi, mimpiku itu kandas, karena sopir bisnya ga tau arah jalannya. Kebetulan kami memakai bis kantor yang sopirnya berasal dari karyawan kantor sendiri. Pupus sudah mimpiku. Pudar. Entah kapan lagi bisa ke Yogyakarta. Niat ada. Tapi waktu yang terkadang sulit.
Kini. Setelah kami selesai melaksanakan tugas itu, temanku mengusulkan untuk pergi ke Lava Tour, dan setelah dia menanyakan pada temannya yang mengenal jalan ke arah sana, maka pergilah tim kecil ini menyusuri jalanan yang akan membimbing kami ke Lereng Gunung Merapi. Waah... betapa bahagianya hatiku. Ga disangka dan ga diduga, mimpiku akan terealisasikan. Saat ini, pada moment ini pula. Saat-saat aku mencoba untuk merefleksikan batin dan jiwaku untuk lebih bijaksana lagi dalam menghadapi segala sesuatu peristiwa, apa pun itu.
Betapa bahagianya aku menikmati hari ini, menikmati perjalanan siang ini. Aku sangat-sangat excited. Kebetulan, cuaca saat itu tak panas dan tak mendung. Sangat mendukung perjalanan kami yang sesekali diselingi tawa canda kami. Sampai di kawasan Merapi, ada portal yang banyak tukang ojek untuk membawa para pengunjung Lava Tour ini ke atas sana, dengan biaya 20 ribu perak. Aku pun langsung menanyakan kesediaannya pada temanku yang mengusulkan ke sini. Dan diapun mengangguk. Aku ga bertanya pada temanku yang tadi pagi pengen naek becak pulang dari Malioboro. Tapi ternyata dia berkenan ikut ke atas.
Pemandangan luluh lantak itu ada di depan mataku. Sepi dan menyayat hati. Aku pisahkan diriku dengan teman-temanku. Ada haru yang sangat luar biasa, hingga meluluhkan air mataku. Vegetasi baru sudah mulai bermunculan. Sebuah pertanda kehidupan baru sudah dimulai. Semak-semak kembali menghijau. Berkelompok.
Jalan menuju Merapi - diana 2011
Peringatan Satu Tahun Mbah Maridjan Di bawah sana, terlihat sekumpulan orang-orang yang mengaji. Samar namun sangat jelas di hamparan seluas itu, ayat-ayat suci Al-Qur’an merebak dibawa sang bayu. Acara peringatan 1 tahun meninggalnya Mbah Maridjan diterjang awan panasnya Merapi yang memuntahkan materialnya.
Mbah Maridjan yang meninggal 26 Oktober 2010, namun diperingati 14 Oktober 2011, karena disesuaikan dengan penghitungan kalender jawa. Dari tempatku berdiri, suara Donny Kusuma yang terdengar lamat-lamat, saat itu ia mewakili PT Sido Muncul, dan menyumbangkan dana untuk desa itu sebesar 150 Juta Rupiah. Tak jelas, apakah untuk desa itu atau untuk keluarga Mbah Mardijan saja. Tapi aku yakini, pasti uang sebesar itu disumbangkan untuk membangkitkan kembali desa itu.
***
Kurang lebih satu tahun telah berlalu, namun moment ini masih sangat rapi menyimpan segala rasaku. Haru, sedih, dan rasa syukur kian bersemi di hatiku hingga aku tulis kembali di sini. menyaksikan secara live hidup dan kehidupan di sekitar Gunung Merapi semakin melengkapi rasa yang dengan cepat mengaliri seluruh isi di batinku. Ada rasa miris, rasa sedih, rasa ngeri, dan segala rasa bercampur menjadi rupa-rupa rasa. Semoga kini semua baik-baik saja dengan vegetasi baru yang bermunculan dari awal; memulai kisah kehidupan mereka yang menghijau mendamaikan hati. Ijo royo-royo memanjakan mata.
*I love Yogyakarta much :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H