Sejak diluncurkan pada tahun 2006, Twitter telah berkembang menjadi salah satu situs jejaring sosial terpopuler yang diminati masyarakat Indonesia. Menurut Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, pengguna Twitter di Indonesia mencapai 19,5 juta, menjadikan Indonesia sebagai negara dengan jumlah pengguna Twitter terbesar kelima setelah Inggris dan negara-negara besar lainnya.
Evolusi pengguna media sosial di Internet, khususnya Twitter, telah menciptakan banyak profesi baru. Salah satunya yakni Buzzer. Buzzer adalah bahasa Inggris ``buz'', yang berarti bersenandung, bel atau berpadu. Awalnya, buzzer digunakan sebagai strategi pemasaran untuk bisnis digital. Buzzer ini adalah orang yang bersedia mempromosikan, memfasilitasi, mempromosikan, dan menginformasikan tentang produk dan layanan untuk kepentingan komunitas digital atau pengguna Internet (netizen).
Dengan perkembangan saat ini, aktivitas Buzzer telah berubah. Perubahan ini terlihat sejak tahun 2014, ketika Indonesia mengadakan pemilihan presiden dan pemilihan kepala daerah.Â
Buzzer menjadi salah satu strategi yang menjanjikan dan penting dalam menggalakan opini publik di media sosial. Buzzer adalah akun media sosial yang terkenal, dengan motif ideologis atau ekonomi.Â
Buzzer bertanggung jawab untuk menyebarkan informasi. Buzzer berbeda dengan influencer. Influencer adalah akun dengan nama dan latar belakang yang unik, seperti: Denny Siregar @dennysiregar, seorang influencer politik atau selebriti atau ahli dengan banyak pengikut di dunia maya. Influencer memiliki pendirian dan preferensi yang berbeda tentang topik (Bramasta, 2019).
Memasuki tahun politik  menuju Pemilu 2024 menjadikan iklim politik di Indonesia semakin memanas, penggunaan media sosial juga berdampak negatif. Dengan kata lain, penyebaran hoaks dan berita palsu semakin marak.Â
Dikatakan bahwa keberadaan buzzer berbayar berperan dalam penyebaran berita palsu ini. Dengan demikian, muncul istilah buzzer peer untuk mengidentifikasi buzzer sebagai profesi berbayar yang menyebarkan misinformasi, dianggap tidak relevan karena memperburuk (Arianto, 2020).
Lebih lanjut lagi, seperti apa strategi kerja Buzzer ini?
Strategi  yang digunakan oleh Buzzer umumnya ada dua, kampanye negatif dan kampanye positif. Namun penggunaan istilah buzzer di media sosial cenderung disamakan dengan penggunaan strategi kampanye yang negatif, dan istilah tersebut dipersepsikan secara negatif. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa media sosial merupakan media yang paling efektif digunakan oleh Buzzer politik.
Pekerjaan buzzer di twitter dinilai menjanjikan karena penghasilannya yang tinggi. Namun, kehadiran buzzer dalam pemilihan kepala daerah dan pemilihan umum selalu negatif, karena tidak hanya berfungsi sebagai pemasaran untuk menampilkan branding pasangan calon, tetapi juga berperan sebagai aktor dalam proses penyebaran kampanye hitam kandidat lainnya.Â
Hoaks, ujaran kebencian, fitnah, dan kampanye negatif lainnya tumbuh subur melalui penyebaran pesan yang dilakukan oleh buzzer. Situasi ini diperparah oleh fakta bahwa tidak ada aturan khusus tentang bagaimana buzzer politik harus beroperasi jika mereka melanggar aturan karena aktivitas kampanye negatif.
Ini juga karena buzzer ini paling sering memiliki akun anonim yang merahasiakan identitasnya. Hal ini juga menyulitkan aparat penegak hukum untuk melacak keberadaannya.Â
Di dalam dunia sosial ini, orang- orang mungkin tidak menyadari bahwa mereka sedang menjadi sasaran dominasi kelompok atau elit yang dominan. Informasi di media sosial juga merupakan contoh penting. Semua informasi menjadi komoditas untuk dikonsumsi oleh pengguna atau dunia maya mereka.
Dari aktivitas konsumsi ini, pengguna dan pengguna lain membentuk jaringan yang pada akhirnya mengarah, secara sadar atau tidak, ke struktur sosial jaringan. Mengingat sifat dunia maya, jejaring sosial tentu dapat diciptakan dalam bentuk dinamika media sosial.Â
Buzzer politik telah menjadi pekerjaan baru di dunia maya dan strategi untuk menyebarkan ideologi dan melanggengkan kekuasaannya. Ditunggangi dan disewa oleh para elite dan tokoh politik di Indonesia, tak jarang buzzer menyebarkan berita hoaks untuk memenuhi tujuannya. Karena perkembangan teknologi dan kebebasan dalam media sosial yang sangat pesat membuat berbagai informasi cepat menyebar. Apabila tidak diimbangi dengan literasi digital yang mumpuni maka akan dengan mudah menerima berita hoaks.
Buzzer politik ini dirancang membentuk opini publik secara online, memanipulasi mereka secara emosional/psikologis, merendahkan dan merendahkan kandidat, dan meningkatkan kelayakan dan popularitas kandidat yang mereka sukai, terutama dalam Pilkada (Gubernur, Walikota/Bupati), tetapi juga pemilihan Presiden, masyarakat Indonesia gagal memaknai politik dan dinamikanya secara mendalam.
Dengan adanya beberapa kasus buzzer menyebarluaskan atau menyebarkan berita bohong/hoax yang beredar di media massa, maka masyarakat dihimbau untuk lebih berhati-hati dan bijak dalam memilih berita di media sosial.Â
Selanjutnya, berdasarkan ketentuan Pasal 28D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, para korban yang menjadi korban berita bohong diberikan pemberitahuan agar mereka dapat lebih percaya diri berbicara ketika berita tersebut tidak benar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H