UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) memiliki peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Menurut data Kementerian Koperasi dan UKM, UMKM berkontribusi sekitar 60,3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dan menyerap lebih dari 97% tenaga kerja. Dengan peran signifikan ini, pengembangan dan pemberdayaan UMKM menjadi krusial untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Salah satu bentuk UMKM yang khas dan memiliki nilai budaya tinggi adalah angkringan. Angkringan merupakan salah satu jenis usaha kuliner tradisional yang sangat populer, terutama di wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Angkringan pertama kali muncul pada awal abad ke-20 di Yogyakarta. Kata "angkringan" berasal dari kata dalam bahasa Jawa "angkring" yang berarti duduk santai atau nongkrong. Nama ini mencerminkan fungsi utama dari tempat ini sebagai tempat berkumpul, bersantai, dan menikmati makanan sederhana bersama teman atau keluarga. Awalnya, angkringan dikenal sebagai "warung HIK" (Hidangan Istimewa Kampung) atau "wedangan" di Solo. Penjual angkringan menggunakan gerobak dorong yang dilengkapi dengan tungku kecil untuk memasak atau memanaskan makanan. Gerobak ini biasanya dilengkapi dengan terpal atau payung sebagai atap pelindung.
Salah satu angkringan yang rame di daerah Klaten, yaitu Angkringan "Galmas" atau biasa dikenal dengan sebutan "Angkringan Galmas kulon Bangjo Kaliworo" (Angkringan Galmas barat lampu merah Kaliworo). Angkringan ini merupakan milik Sulistya, salah satu warga Cawas, Klaten. Omset yang dihasilkan dari angkringan sangatlah lumayan.
"Dalam satu Minggu kurang lebih mendapatkan omset 3 juta, tetapi tidak menentu (naik turun) karena adanya kondisi pasar dan cuaca" ucap Sulistya saat itu.
Angkringan tidak hanya sekedar tempat makan, tetapi juga bagian dari budaya Jawa yang sarat dengan nilai-nilai sosial. Tradisi berkumpul dan bercengkerama di angkringan mencerminkan nilai-nilai kebersamaan dan gotong royong. Di angkringan, tidak ada sekat antara orang dari latar belakang yang berbeda. Semua pelanggan duduk bersama, berbincang tentang berbagai hal, dari topik ringan hingga diskusi serius.
Melalui angkringan, generasi muda dapat belajar dan merasakan langsung kekayaan budaya lokal. Bagi para wisatawan, angkringan menawarkan pengalaman autentik yang tidak bisa ditemukan di restoran modern. Dengan demikian, angkringan berperan penting dalam melestarikan budaya dan tradisi Jawa di tengah arus modernisasi.
Usaha angkringan tidak selalu berjalan mulus. Disetiap usaha pasti pernah mengalami naik turunnya pendapatan. Sama halnya dengan UMKM angkringan Galmas ini. Saat terkena dampak proyek jalan, Angkringan Galmas sempat mengalami penurunan dalam penjualan yang derastis. Tidak hanya sampai disitu, ketika Covid-19, Angkringan Galmas juga sempat mengalami penjualan yang menurun.
"Penjualan menurun drastis terjadi pada tahun 2017 karena terkena dampak proyek jalan sehingga harus berhenti jualan selama 4 bulan. Selain itu, penjualan menurun drastis selama covid 19, karena harus berhenti berjualan dan setelah buka terkena adanya aturan berjualan maksimal jam 9 (pernah didatangi polisi karena melebihi jam 9)" ucap Sulistya, pemilik Angkringan Galmas.
Sebagai bagian dari UMKM, angkringan memiliki kontribusi signifikan terhadap perekonomian lokal. Beberapa kontribusi tersebut antara lain:
Penciptaan Lapangan Kerja: Angkringan membantu menciptakan lapangan kerja bagi banyak orang, baik sebagai pemilik usaha, karyawan, maupun pemasok bahan baku.
Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat: Dengan modal yang relatif kecil, banyak orang dapat memulai usaha angkringan. Hal ini membantu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat setempat.