Mohon tunggu...
Winda Lestari
Winda Lestari Mohon Tunggu... -

Ibu rumah tangga yang suka membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Feminisme dan Pemimpin Perempuan

4 April 2013   14:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:44 1391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Persepsi tentang gerakan feminisme di Indonesia masih terfragmentasi dan carut-marut. Hal ini dilatarbelakangi kekurangpemahaman serta beraneka ragamnya aliran-aliran historis feminisme itu sendiri. Feminisme memproklamirkan diri sebagai konsep pergerakan yang berjuang untuk mewujudkan emansipasi dan kesejahteraan kaum perempuan. Feminisme sebagai filsafat dan gerakan dapat dipelajari dari sejarah kelahirannya yang bersamaan dengan kelahiran Pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montague dan Marquis de Condorcet.

Perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di Middelburg, Belanda pada tahun 1785. Menjelang abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa. Perempuan di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai universal sisterhood. Kata feminisme dikreasikan pertama kali oleh Charles Fourier pada tahun 1837. Pergerakan center Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill, the Subjection of Women (1869).

Perjuangan mereka menandai kelahiran feminisme Gelombang Pertama. Pasca perang dunia kedua, bersamaan dengan munculnya negara-negara baru yang terbebas dari penjajah Eropa, lahirlah Feminisme Gelombang Kedua pada tahun 1960. Dengan puncak diikutsertakannya perempuan dalam hak suara parlemen. Pada tahun ini merupakan awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih dan selanjutnya ikut mendiami ranah politik kenegaraan. Gelombang kedua ini dipelopori oleh para feminis Perancis seperti Helene Cixous dan Julia Kristeva. Akselerasi feminisme gelombang kedua ini berbarengan dengan kelahiran dekonstruksi yang dipelopori Jacques Derrida.

Di Amerika Serikat, feminisme sedikit menemukan geliatnya diawali dengan dengan buku The Feminine Mystique tulisan Betty Friedan (1963). Betty Friedan selanjutnya membentuk organisasi National Organization for Woman (NOW). Pergerakan feminisme dibawah bendera Betty Friedan mendorong kelahiran Equal Pay Right (1963) dan Equal Right Act (1964) dalam undang-undang Amerika.

Dalam evolusinya, feminisme mengalami perkembangan dengan memunculkan beberapa aliran, yaitu feminisme liberal, feminisme radikal, feminisme post-modern, feminisme anarkhis, feminisme marxis, feminisme sosialis serta feminisme post-kolonial.

Feminisme Liberal ialah pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia memiliki kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakngan pada perempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka "persaingan bebas" dan punya kedudukan setara dengan lelaki. Naomi Wolf, tokoh aliran ini, mengemukakan konsepnya yaitu ‘Feminisme Kekuatan’ yang merupakan solusi akhir bagi perempuan agar mengejar kekuatan supaya mampu menuntut persamaan hak, bebas berkehendak, lepas dari hegemoni laki-laki.

Feminisme radikal menawarkan ideologi ‘perjuangan separatisme perempuan’. Pada sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap budaya seksisme, terutama melawan kekerasan seksual. Aliran ini bertumpu pada paradigma bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem budaya patriarkhi, dengan tubuh perempuan sebagi orientasi utama penindasan. Feminisme radikal fokus pada materi tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme), seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik. ‘The personal is political’ menjadi landasan untuk menjangkau permasalahan perempuan sampai ke ranah privasi. Masyarakat Indonesia, secara umum, cenderung sinis dengan aliran feminis ini karena menyentuh area-area privasi yang tabu untuk diketahui publik, padahal dengan sedikit tekanan kelompok ini maka Indonesia memiliki Undang Undang RI No. 23 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).

Feminisme post-modern berlandaskan pada paham post-modernisme dengan ide dasar yakni anti absolut dan anti otoritas, gagalnya modernitas dan pemilahan secara berbeda-beda tiap fenomena sosial karena penentangannya pada penguniversalan pengetahuan ilmiah dan sejarah. Mereka berpendapat bahwa gender tidak bermakna identitas atau struktur sosial.

Feminisme Anarkisme lebih bersifat sebagai suatu paham politik yang mencita-citakan masyarakat sosialis dan menganggap negara dan sistem patriarkhi terlalu mendominasi sistem. Lelaki adalah sumber permasalahan yang harus dihancurkan.

Feminisme marxis berpijak pada perspektif bahwa problematika perempuan berasal dari hegemoni kapitalisme; penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori Friedrich Engels dikembangkan menjadi landasan aliran ini—status perempuan jatuh karena adanya konsep private property. Kegiatan produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri berubah menjadi keperluan pertukaran. Laki-laki mengontrol produksi untuk pertukaran ini dan sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari property. Sistem produksi yang berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas-kelas dalam masyarakat. Penghancuran kapitalisme akan melahirkan struktur masyarakat tanpa penindasan perempuan.

Feminisme sosialis berjuang untuk menghapuskan sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan pria atas harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti ide Marx yang menginginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender. ‘Tak Ada Sosialisme tanpa Pembebasan Perempuan. Tak Ada Pembebasan Perempuan tanpa Sosialisme’. Feminisme sosialis muncul sebagai kritik terhadap feminisme Marxis. Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan gender untuk memahami penindasan perempuan. Ia sepaham dengan feminisme marxis bahwa kapitalisme merupakan sumber penindasan perempuan. Akan tetapi, aliran feminis sosialis ini juga setuju dengan feminisme radikal yang menganggap patriarkhilah sumber penindasan itu. Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling mendukung. Seperti dicontohkan oleh Nancy Fraser di Amerika Serikat keluarga inti dikepalai oleh laki-laki dan ekonomi resmi dikepalai oleh negara karena peran warga negara dan pekerja adalah peran maskulin, sedangkan peran sebagai konsumen dan pengasuh anak adalah peran feminin. Agenda perjuagan untuk memeranginya adalah menghapuskan kapitalisme dan sistem patriarkhi. Dalam konteks Indonesia, analisis ini bermanfaat untuk melihat problem-problem kemiskinan yang menjadi beban perempuan.

Perempuan yang hidup di negara dunia ketiga (koloni/bekas koloni) berbeda dengan perempuan yang hidup di Negara maju. Perempuan dunia ketiga menanggung beban penindasan lebih berat karena selain mengalami pendindasan berbasis gender, mereka juga mengalami penindasan antar bangsa, suku, ras, dan agama. Dimensi kolonialisme menjadi fokus utama feminisme poskolonial yang pada intinya menggugat penjajahan, baik fisik, pengetahuan, nilai-nilai, cara pandang, maupun mentalitas masyarakat. Beverley Lindsay dalam bukunya ‘Comparative Perspectives on Third World Women: The Impact of Race, Sex, and Class’ menyatakan, ‘hubungan ketergantungan yang didasarkan atas ras, jenis kelamin, dan kelas sedang dikekalkan oleh institusi-institusi ekonomi, sosial, dan pendidikan.’

Walaupun sudah ada aliran dalam gerakan feminisme, istilah “feminisme” sendiri masih bersifat sangat subyektif dan sering digunakan secara sembarangan. Akibatnya, sering muncul kebingungan dan berbagai definisi tentang feminisme. Di antara berbagai definisi feminisme yang berkembang pada saat ini adalah: (1) Kelompok-kelompok yang berjuang untuk mengubah kedu­dukan kaum perempuan atau berbagai pemikiran tentang kaum perempuan, mendapatkan julukan kaum feminis. (2) Sebuah doktrin yang menyerukan kesetaraan hak-hak sosial dan politik kaum perempuan dengan kaum laki-laki. (3) Feminisme juga bermakna, segala upaya untuk membuat kaum perempuan mempunyai kesempatan dan hak-hak istimewa sebagaimana yang diberikan masyarakat kepada kaum laki-laki, atau penegasan tentang adanya nilai-nilai keperempuanan yang spesifik, yang berbeda dengan anggapan negatif kaum laki-laki selama ini. Sekalipun tidak berarti bahwa kedudukan perempuan harus bersifat eksklusif, ada kecenderungan kuat untuk membuat demikian. Persoalannya adalah: apakah kaum perempuan seperti laki-laki atau tidak. (4) Kaum feminis tidak berjuang hanya untuk menghapuskan hak-hak istimewa kaum laki-laki, tetapi juga menghilangkan perbedaan jenis kelamin. Perbedaan jenis kelamin di antara manusia semestinya tidak menjadi permasalahan lagi. Konsep keluarga biologis yang tidak adil harus dipatahkan, demikian pula konsep kekuatan psikologis yang selama ini menjadi dalih superioritas kaum laki-laki.

Indonesia, sebagaimana telah kita sepakati bersama, adalah negara dengan tata kultural yang dikuasai oleh budaya patriarkhi. Dalam tradisi Jawa, istri dalam perspektif suami (laki-laki) adalah ’garwa’ (sigaraning nyawa) yang terikat dengan aturan mendasar ’swarga nunut neraka katut’. Perspektif ini memposisikan perempuan sebagai objek, sub-ordinatif, dan tidak memiliki kuasa untuk menentukan nasibnya sendiri, apalagi menentukan nasib bersama. R.A Kartini mungkin bisa disebut sebagai salah satu tokoh pergerakan feminisme di Indonesia, berpijak pada kiprah dan usahanya untuk mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan Indonesia pada masanya. Meski secara pribadi dalam kenyataannya, beliau sama sekali tidak pernah bersentuhan secara langsung dengan konsep-konsep feminisme. Kegelisahan perempuan Indonesia yang tertindas dan terpinggirkan oleh budaya patriarkhi mendorong mereka untuk menggeliat mengupayakan sebuah peri-keadilan setara dengan laki-laki. Dunia sastra Indonesia dikejutkan dengan Ayu Utami, Djenar Mahesa Ayu, Oka Rusmini, Dee, Fira Basuki, dll yang mengusung feminisme dalam karya-karya mereka. Menurut perspektif kritik sastra feminis, hanya perempuan yang bisa menulis tentang perempuan. Meski ditasbihkan sebagai genre sastra biru dengan tema dan bahasa ’tabu’ eksistensi mereka menjadi penanda kegelisahan perempuan di Indonesia.

Dalam ranah politik, perempuan juga cenderung tidak memiliki tempat yang nyaman, dan terikat dalam kedudukan pemilih bukan dipilih. Banyak yang sepakat bahwa gerakan perempuan untuk memulihkan hak-hak politiknya ini erat kaitannya dengan proses tranformasi sosial dan budaya.. Politik, terlepas dari segala kontroversi di dalamnya, adalah alat sosial yang paling memungkinkan bagi terciptanya kesempatan dan wewenang, serta memungkinkan  rakyat mengelola dirinya sendiri melalui berbagai aksi bersama, diskusi, sharing, dalam prinsip kesetaraan dan keadilan. Politik adalah salah satu sarana yang dapat mendorong perempuan untuk mencurahkan semua kegelisahan.

Budaya, sistem sosial, sistem politik, hingga masalah kemiskinan, masih menjadi penghalang partisipasi politik perempuan. Upaya-upaya perubahan untuk merobohkan penghalang memunculkan varian-varian kebijakan alternatif yang menguntungkan perempuan. Salah satunya adalah perempuan masuk dalam tataran kekuasaan dan legislatif. Karena kekuasaan dan legislatif adalah bagian yang sangat vital dalam mewarnai ideologi masyarakat dan manajemen sosial-budaya. Apabila kesetaraan kesempatan politis merupakan impian bersama maka salah satu jawabannya adalah partisipasi langsung dalam setiap langkah.

Pada Pemilu 1999, Indonesia dikejutkan dengan sepak terjang Megawati Soekarnoputri. Sisi perempuannya mengundang kontroversi dan polemik bagi publik tanah air. Latar belakang genetika Megawati (Soekarnoisme) sedikit banyak memberikan kekuatan bagi akselerasi politiknya. Survival story-nya di masa-masa akhir Orde Baru juga mendulang suara konstituennya, sehingga mendudukan PDIP pada puncak klasemen perolehan suara Pemilu 1999.

Satu hal yang tak dapat dipungkiri kala itu, keberadaan Megawati di panggung politik ternyata juga mengundang simpati sesama perempuan, sehingga pemilih perempuan yang ‘mungkin’ sebelum-sebelumnya berafiliasi ke partai lain segera mengalihkan dukungan kepadanya. Kekuatan pemilih perempuan untuk memilih tokoh perempuan dibuktikan pada Pilgub Jawa Timur di tahun 2009, dimana perolehan suara Khofifah Indar Parawansa mampu mengalahkan dua kandidat lain, yaitu Sutjipto dan Sunarjo. Penulis menemukan realita betapa Khofifah memang begitu piawai dalam membidik suara perempuan di Provinsi Jatim, serta di sisi lain mengelola keperempuanannya sebagai komoditi yang marketable. Pada poin inilah, adagium bahwa pemilih perempuan nyaman dengan asumsi bahwa perempuan yang memahami problematika perempuan dan hanya perempuan yang bisa mewakili aspirasi perempuan.

Keterwakilan perempuan memang suatu kondisi yang diharapkan oleh pemilih perempuan, karena perempuan dapat berpartisipasi aktif dalam  proses pengambilan keputusan di legislatif, yudikatif maupun eksekutif.Maka tidak salah bila perempuan menaruh harapan kepada pempimpin perempuan lintas partai untuk mereduksi perundangan sensitive gender, yang tidak memarginalkan perempuan.

Kelahiran dan perkembangan feminisme di Indonesia telah memberikan sedikit kelonggaran bagi perempuan untuk berpolitik secara praktis, sebuah pendewasaan memang bertemu dengan liku-liku dan menikmati keterjalan perjalanan. Kesuksesan terikat dengan hukum relativitas quantum, Pemilu 2014 nanti hanyalah sebuah ukuran waktu. Apabila seorang perempuan telah memutuskan diri berpolitik dan bercita menjadi pemimpin perempuan, curahkan segala kemampuan yang ada, tunjukkan bahwa perempuan memang bisa. Jikalau berkeberatan, mari kembali ke teritorial perempuan yang diberikan laki-laki, yakni; dapur, sumur, dan kasur.

***********

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun