Mohon tunggu...
Winda Rachmainda Firdaus
Winda Rachmainda Firdaus Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Ilmu Hukum STH Indonesia Jentera

Senang menulis isu-isu politik, sosial, dan hukum

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sanksi Teguran Tertulis Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi Terhadap Guntur Hamzah dalam Pendekatan Judicial Hero

2 April 2023   21:48 Diperbarui: 3 April 2023   14:29 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dalam beberapa waktu terakhir, publik digemparkan dengan rangkaian isu hukum ketatanegaraan yang terjadi di Indonesia. Salah satunya adalah fenomena pemberhentian hakim konstitusi Aswanto oleh DPR yang dilakukan secara serampangan dan tidak berdasarkan pada peraturan perundang-undangan. Posisi Aswanto sebagai hakim konstitusi digantikan oleh Guntur Hamzah yang sebelumnya menjabat sebagai Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi. Fenomena ini menuai banyak sekali kritik dari publik mulai dari masyarakat, pakar hukum, hingga mantan hakim konstitusi turut berkomentar. 

Salah satu kritik datang dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK). PSHK menilai alasan DPR memberhentikan Aswanto karena yang bersangkutan kerap menganulir produk hukum DPR, merupakan bentuk pelanggaran hukum dan merusak independensi peradilan. Selain itu, kritik yang serupa juga datang dari pakar hukum tata negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti. Menurutnya, Keputusan DPR memberhentikan Aswanto dengan alasan menganulir produk DPR bukan bentuk check and balances. Menurutnya check and balances berbeda dengan intervensi.

Berangkat dari cacatnya proses pemberhentian Aswanto oleh DPR, selanjutnya seorang advokat bernama Zico Leonard Djagardo Simanjuntak mengajukan gugatan uji materi Undang-undang No. 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi yang menghasilkan putusan dengan nomor perkara 103/PUU-XX/2022. Melalui gugatan ini pemohon menginginkan MK membatalkan keputusan DPR yang secara sepihak memberhentikan Aswanto sebagai hakim konstitusi. 

Putusan MK No. 103/PUU-XX/2022 pada pokoknya menolak gugatan uji materi pemohon. Menariknya, putusan ini menjadi keberlanjutan kontroversi pemberhentian Aswanto dari jabatan hakim konstitusi. Dimana, terjadi perubahan frasa yang berdampak pada substansi putusan MK tersebut. Perubahan ini terbukti dilakukan oleh Guntur Hamzah yang berkedudukan sebagai hakim konstitusi pengganti Aswanto. Perubahan tersebut terjadi pada frasa "dengan demikian" menjadi "kedepan" yang secara substansial sangat berpengaruh terhadap makna putusan tersebut. 

Sejak awal fenomena ini bergulir, sikap Mahkamah Konstitusi (MK) baik itu Ketua MK maupun hakim konstitusi cenderung pasif untuk merespon. Padahal kasus pemberhentian Aswanto ini terjadi setelah kehadiran Putusan MK No. 96/PUU-XVIII/2020 dan telah menjadi fenomena ketatanegaraan yang sudah dengan tegas menggerus independensi Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengawal konstitusi dalam menjalankan kewenangannya. 

Gerak MK yang cenderung lamban terlihat pada respon MK terkait pemberhentian Aswanto yang baru disampaikan setelah dilakukannya gugatan uji materil terhadap UU MK  oleh Zico melalui putusan MK No. 103/PUU-XX/2022. Dalam pertimbangan hukum putusan tersebut mahkamah menyatakan bahwa tindakan yang dilakukan diluar ketentuan norma pasal 23 UU MK adalah tidak sejalan dengan UUD NRI 1945. Sehingga dapat dikatakan inkonstitusional. Namun oleh karena terjadi perubahan frasa dalam putusan tersebut berkorelasi pada hilangnya esensi yang hendak dimunculkan dalam putusan tersebut terkait respon pemberhentian Aswanto. 

Fenomena pasifnya MK dalam menyikapi pemberhentian Aswanto menjadi menarik untuk dilihat dari konteks Judicial Hero. Bila merujuk pada buku yang ditulis oleh Stefanus Hendrianto yang berjudul "Law and Politics of Constitutional Court: Indonesia and the search for Judicial Heroes" Sederhananya Judicial Hero dapat dipahami sebagai mereka yang dengan berani menemukan kebenaran, menolak untuk terikat pada preseden yang sudah ketinggalan zaman dan mengganti aturan ketat dengan standar fleksibel berdasarkan pengertian mereka tentang kewajaran, keadilan, dan efisiensi.

Dalam definisi tersebut judicial hero di identikan dengan sosok hakim yang berani. Di dalam putusan MKMK No. 01/MKMK/T/02/2023 pada bagian pertimbangan hukum, terkuat fakta-fakta yang mengejutkan. Dimana, pada penjelasan faktor yang dapat meringankan Guntur Hamzah salah satunya berbicara mengenai lambatnya respond MK terhadap dampak dari perbuatan hakim terduga yang mengakibatkan perubahan frasa tersebut menjadi masalah yang berkepanjangan. Sebelum skandal tersebut muncul di media, MK telah menyadari adanya perbedaan frasa antara yang diucapkan dengan yang termuat di dalam putusan. Namun persoalan ini tidak segera ditindaklanjuti oleh MK dengan alasan yang bersifat teknis psikologis.

Pembiaran terhadap tindakan Guntur Hamzah dapat menjadi preseden buruk bagi pelaksanaan kewenangan MK dan dapat mengurangi kepercayaan publik terhadap MK. Sikap MK yang memilih untuk mengulur waktu penindakan kasus yang terjadi sangat tidak mencerminkan sikap sebagai pahlawan peradilan sebagaimana yang tergambar dalam definisi judicial hero, sosok hakim yang berani menemukan kebenaran berdasarkan keyakinan mereka tentang kewajaran, keadilan, dan efisiensi. Harapan terakhir dari sikap judicial hero MK terkait skandal tersebut ada pada putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang diharapkan dapat menjatuhi sanksi  tegas kepada hakim konstitusi terduga. 

Putusan MKMK tersebut menjatuhi sanksi berupa teguran tertulis terhadap Guntur Hamzah sebagai hakim konstitusi terduga yang secara terbukti melanggar prinsip intergitas dalam kode etik hakim konstitusi. Pasal 15 huruf a Undang-Undang No. 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi menyebutkan integritas sebagai  salah satu syarat utama calon hakim konstitusi. Tentu menjadi tidak wajar bilamana prasyarat utama untuk menjadi hakim konstitusi telah dilanggar namun sanksi yang dijatuhi hanya berupa teguran tertulis. Dalam penalaran yang wajar, ketika syarat utama tersebut sudah tidak lagi terpenuhi maka orang yang bersangkutan tidak layak menjadi hakim konstitusi. Dengan kata lain, seharusnya jika MKMK berpedoman pada konsep judicial hero yang menekankan pada keberanian untuk memberikan kebenaran berdasarkan keadilan dan kewajaran maka sanksi yang dijatuhi kepada Guntur Hamzah adalah pemberhentian dengan tidak hormat. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun