Mohon tunggu...
Winda Rachmainda Firdaus
Winda Rachmainda Firdaus Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Ilmu Hukum STH Indonesia Jentera

Senang menulis isu-isu politik, sosial, dan hukum

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Media Sosial: Tantangan Baru bagi Etika Profesi Advokat

21 April 2022   21:01 Diperbarui: 22 April 2022   21:03 1079
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Viral. Sumber ilustrasi: PIXABAY/ktphotography

Di era digitalisasi saat ini, begitu banyak kemudahan yang dirasakan oleh masyarakat pada berbagai bidang seperti ekonomi, sosial, dan budaya. Tentu, kemudahan-kemudahan ini merupakan nilai tambah dari kemajuan teknologi di Indonesia. 

Sederhananya untuk dapat melakukan percapakan tatap muka tentu masyarakat dimudahkan dengan kehadiran fitur-fitur video call, untuk mengakomodir suara atau dukungan terhadap suatu isu sering kali masyarakat memanfaatkan aplikasi/layanan petisi online yang sangat mudah di operasikan cukup dengan one click. 

Selain itu nilai positif lainnya dari kemajuan teknologi adalah pemanfaatan media sosial sebagai sarana kampanye/advokasi seperti melalui platform instagram, facebook, twitter, tiktok, youtube, dll.

Saat ini media sosial menjadi salah satu wadah berjejaring yang paling diminati oleh masyarakat. Berdasarkan laporan We are Social jumlah pengguna aktif media sosial di Indonesia hingga Januari 2022 mencapai 191 juta jiwa. Media sosial menyediakan fitur-fitur yang memudahkan penggunanya dalam berjejaring seperti like, comment, post, repost, upload video, kirim voice notes, dll. 

Tentu ini menjadi hal positif yang perlu di apresiasi, namun di sisi lain dalam pengunaannya terdapat pula pihak-pihak yang memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan hate speeches dan berita palsu, akibatnya menimbulkan permasalahan baru di masyarakat. 

Sering kali dampak negatif ini tidak terjadi di media sosial saja, melainkan bisa terseret juga ke dunia nyata. Cukup banyak kasus hukum yang awal penyebabnya datang dari perilaku di media sosial.

Tindakan-tindakan negatif seperti hate speeches dan menyebarkan berita bohong atau palsu, memviralkan kasus klien dengan cara yang kurang tepat tentunya merupakan contoh nyata dari tantangan etika bermedia sosial bagi masyarakat tidak terkecuali profesi advokat. 

Tindakan tersebut tidak didasarkan pada pertimbangan etis sebelumnya oleh para pengguna sehingga menimbulkan permasalahan baru di media sosial yang memungkinkan juga berlanjut hingga ke ranah hukum di dunia nyata.

Seperti halnya, baru-baru ini media sosial sempat dihebohkan dengan keberadaan video viral yang di posting oleh akun instagram bernama @memomedsos yang memperlihatkan tindakan seorang pengacara yang menebar uang sejumlah Rp.40.000.000,- (Empat Puluh Juta Rupiah) di depan Polsek Banyuwangi. 

Di dalam video tersebut terlihat seorang pengacara yang berteriak mencari kanit reskrim Polsek Banyuwangi, Pengacara tersebut tidak terima kliennya di intervensi oleh polisi untuk tidak menggunakan pengacara. Menurut penuturannya dalam video tersebut, dia merasa seorang advokat itu setara dengan polisi sebagai penegak hukum.

Permasalahan ini cukup menarik banyak perhatian warga net, tindakan pengacara tersebut sangat tidak etis dan dapat menjadi presenden buruk untuk masyarakat yang menonton videonya di media sosial. Secara regulasi, Kode etik advokat telah mengatur perihal tindakan yang tidak dibenarkan bagi advokat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun