Mohon tunggu...
Winda Octaviani Fadilah
Winda Octaviani Fadilah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hukum - Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Tertarik dengan isu sosial, hukum, dan ekonomi.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Problematika Dispensasi Kawin terhadap Perkawinan di Bawah Umur

14 Desember 2022   07:01 Diperbarui: 20 Desember 2022   17:18 652
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1: Ilustrasi Pernikahan Dibawah Umur sumber (https://www.getradius.id/)

Pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 (UU No. 16/2019) untuk mengubah ketentuan batas minimum umur perkawinan yang semula 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan kini menjadi 19 tahun bagi kedua belah pihak. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk mencegah terjadinya perkawinan di bawah umur. Pada dasarnya, perkawinan di bawah umur lebih banyak memberikan dampak negatif daripada dampak positif. Perkawinan di bawah umur dapat menyebabkan hak - hak dasar anak tidak terpenuhi. Selain itu, perkawinan di bawah umur juga memperbesar peluang terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) karena emosi anak yang belum stabil.

 Meskipun peraturan hukumnya sudah jelas, tetapi perkawinan di bawah umur yang seharusnya tidak boleh dilakukan ternyata masih marak terjadi di Indonesia. Hal ini dikarenakan peraturan batas usia minimum perkawinan dapat diingkari dengan adanya permohonan dispensasi kawin, seperti yang tercantum dalam Pasal 7 ayat (2) UU No. 16/2019. Adanya peraturan dispensasi kawin menunjukan bahwa UU No. 16/2019 masih bersifat sangat longgar dan tidak terlalu mengikat, karena perkawinan di bawah umur masih berpeluang untuk dilakukan dan dinyatakan sah secara hukum. 

Peraturan dispensasi kawin telah dijelaskan lebih detail dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin (Perma No. 5/2019). Merujuk pada Pasal 3 Perma No. 5/2019  permohonan dispensasi kawin bertujuan untuk:

  1. Menerapkan asas sebagaimana dimaksud dalam Pasal dua.

  2. Menjamin pelaksanaan peradilan yang melindungi hak anak. 

  3. Meningkatkan tanggung jawab Orang Tua dalam rangka pencegahan Perkawinan di bawah umur.

  4. Mengidentifikasi ada atau tidaknya paksaan yang melatarbelakangi pengajuan permohonan Dispensasi Kawin; dan

  5. Mewujudkan standardisasi proses mengadili permohonan Dispensasi Kawin di Pengadilan

Terdapat hal yang menarik untuk dibahas, salah satu tujuan ditetapkannya permohonan dispensasi kawin sejalan dengan UU Perlindungan Anak, yaitu untuk meningkatkan tanggung jawab orang tua dalam rangka pencegahan perkawinan anak. 

Namun dalam implementasinya, permohonan dispensasi kawin ternyata tidak sejalan dengan tujuan yang telah disebutkan. Adanya dispensasi kawin malah meningkatkan jumlah perkawinan di bawah umur. Hal ini diperkuat dengan fakta terdapat 24.864 perkara dengan kategori dispensasi kawin yang masuk dalam Laporan Pelaksanaan Kegiatan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan Agama pada tahun 2019. Angka tersebut naik jumlah dibandingkan dengan tahun 2018 yaitu hanya 13.880 perkara. Selain itu, sepanjang Januari hingga Juni 2020, Badan Peradilan Agama juga telah mencatat 34 ribu permohonan dispensasi perkawinan. Dari jumlah tersebut, 97 persen permintaan dikabulkan dengan 60 persennya adalah perkawinan anak perempuan yang berusia di bawah 18 tahun.

Pada kenyataannya, peraturan dispensasi kawin ini telah memberikan ruang celah kepada orang tua untuk mengawinkan anak, meskipun usia anaknya belum mencapai batas usia minimum perkawinan. Terdapat berbagai macam alasan orang tua dalam mengajukan permohonan dispensasi kawin, antara lain karena anaknya hamil di luar nikah atau kekhawatiran orang tua terhadap pergaulan bebas yang membuat anaknya dapat berbuat sesuatu hal yang dilarang oleh agama. Hal-hal tersebut membuat orang tua lebih memilih untuk mengawinkan anaknya saja agar tidak menimbulkan masalah sosial di masyarakat. Pengajuan dispensasi kawin oleh orang tua menunjukan adanya pelanggaran terhadap kewajiban dan tanggung jawab orang tua untuk mencegah terjadinya perkawinan di bawah umur. 

Jika diamati lebih lanjut, salah satu faktor yang membuat orang tua merasa bebas untuk mengawinkan anaknya, yaitu tidak adanya sanksi untuk orang tua yang melalaikan kewajiban dan tanggung jawabnya dalam upaya mencegah perkawinan di bawah umur. Padahal masyarkat, khususnya para orang tua memiliki kewajiban untuk mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak-anaknya. Dalam konteks ini, termasuk pembuatan undang-undang yang terdapat hubungannya dengan kehidupan dan masa depan anak-anak di Indonesia.

Efektivitas hukum dalam UU No. 16/2019 yang mengatur batas usia minimum perkawinan masih belum terpenuhi untuk mengurangi jumlah perkawinan di bawah umur. Hal ini disebabkan peraturan dispensasi kawin dapat mengesampingkan peraturan batas usia minimum perkawinan. Dispensasi kawin yang diajukan oleh generasi muda untuk melegalkan perkawinan di bawah umur akan menjadi hambatan dan tantangan baru bagi Indonesia dalam mengurangi angka pertumbuhan penduduk. 

Menurut Soerjono Soekanto, terdapat lima faktor yang menentukan tingkat efektivitas hukum, yaitu hukum itu sendiri, penegak hukum, sarana dan fasilitas, masyarakat, dan budaya hukum. Jika UU No. 16/2019 sebagai substansi hukum saja belum selaras peraturannya, lalu bagaimana mungkin struktur hukum dan budaya hukum dapat berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh Bangsa Indonesia? Dalam persoalan ini, hakim pun sebetulnya dilema dalam memutuskan perkara. Di satu sisi, hakim harus mempertimbangkan hak asasi anak, tetapi disisi lain hakim juga harus tunduk pada peraturan dan norma yang telah ditetapkan oleh negara. 

Oleh karena itu, pemerintah harus melakukan peninjauan kembali terhadap dispensasi kawin yang tercantum dalam UU No. 16/2019.  Ketentuan dispensasi kawin mungkin dapat dipersulit persyaratannya atau bahkan dapat dihilangkan peraturannya untuk mencegah perkawinan di bawah umur. Melihat berbagai macam dampak negatif yang mengancam apabila hubungan perkawinan di bawah umur dilakukan, maka masyarakat, khususnya orang tua harus meningkatkan kesadaran terhadap penerapan UU Perlindungan Anak. Pemerintah juga harus berkomitmen untuk menegakkan hukum terkait perkawinan di bawah umur sehingga pihak-pihak yang ingin melakukan perkawinan di bawah umur akan berpikir dua kali sebelum melakukannya. Dengan upaya tersebut, diharapkan masyarakat dapat sadar bahwa pernikahan di bawah umur harus dihindari demi masa depan anak-anak Indonesia yang gemilang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun