Pada kenyataannya, peraturan dispensasi kawin ini telah memberikan ruang celah kepada orang tua untuk mengawinkan anak, meskipun usia anaknya belum mencapai batas usia minimum perkawinan. Terdapat berbagai macam alasan orang tua dalam mengajukan permohonan dispensasi kawin, antara lain karena anaknya hamil di luar nikah atau kekhawatiran orang tua terhadap pergaulan bebas yang membuat anaknya dapat berbuat sesuatu hal yang dilarang oleh agama. Hal-hal tersebut membuat orang tua lebih memilih untuk mengawinkan anaknya saja agar tidak menimbulkan masalah sosial di masyarakat. Pengajuan dispensasi kawin oleh orang tua menunjukan adanya pelanggaran terhadap kewajiban dan tanggung jawab orang tua untuk mencegah terjadinya perkawinan di bawah umur.Â
Jika diamati lebih lanjut, salah satu faktor yang membuat orang tua merasa bebas untuk mengawinkan anaknya, yaitu tidak adanya sanksi untuk orang tua yang melalaikan kewajiban dan tanggung jawabnya dalam upaya mencegah perkawinan di bawah umur. Padahal masyarkat, khususnya para orang tua memiliki kewajiban untuk mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak-anaknya. Dalam konteks ini, termasuk pembuatan undang-undang yang terdapat hubungannya dengan kehidupan dan masa depan anak-anak di Indonesia.
Efektivitas hukum dalam UU No. 16/2019 yang mengatur batas usia minimum perkawinan masih belum terpenuhi untuk mengurangi jumlah perkawinan di bawah umur. Hal ini disebabkan peraturan dispensasi kawin dapat mengesampingkan peraturan batas usia minimum perkawinan. Dispensasi kawin yang diajukan oleh generasi muda untuk melegalkan perkawinan di bawah umur akan menjadi hambatan dan tantangan baru bagi Indonesia dalam mengurangi angka pertumbuhan penduduk.Â
Menurut Soerjono Soekanto, terdapat lima faktor yang menentukan tingkat efektivitas hukum, yaitu hukum itu sendiri, penegak hukum, sarana dan fasilitas, masyarakat, dan budaya hukum. Jika UU No. 16/2019 sebagai substansi hukum saja belum selaras peraturannya, lalu bagaimana mungkin struktur hukum dan budaya hukum dapat berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh Bangsa Indonesia? Dalam persoalan ini, hakim pun sebetulnya dilema dalam memutuskan perkara. Di satu sisi, hakim harus mempertimbangkan hak asasi anak, tetapi disisi lain hakim juga harus tunduk pada peraturan dan norma yang telah ditetapkan oleh negara.Â
Oleh karena itu, pemerintah harus melakukan peninjauan kembali terhadap dispensasi kawin yang tercantum dalam UU No. 16/2019. Â Ketentuan dispensasi kawin mungkin dapat dipersulit persyaratannya atau bahkan dapat dihilangkan peraturannya untuk mencegah perkawinan di bawah umur. Melihat berbagai macam dampak negatif yang mengancam apabila hubungan perkawinan di bawah umur dilakukan, maka masyarakat, khususnya orang tua harus meningkatkan kesadaran terhadap penerapan UU Perlindungan Anak. Pemerintah juga harus berkomitmen untuk menegakkan hukum terkait perkawinan di bawah umur sehingga pihak-pihak yang ingin melakukan perkawinan di bawah umur akan berpikir dua kali sebelum melakukannya. Dengan upaya tersebut, diharapkan masyarakat dapat sadar bahwa pernikahan di bawah umur harus dihindari demi masa depan anak-anak Indonesia yang gemilang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H