Mohon tunggu...
Winda Efanur FS
Winda Efanur FS Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

seorang pembelajar, pecinta buku

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Mendesak Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

23 Januari 2019   01:19 Diperbarui: 23 Januari 2019   01:52 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Desakan atas pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) kembali mencuat sekitar bulan November- Desember 2018, setelah kasus Agni dan Nuril muncul di permukaan. Media massa dikawal berbagai LSM, komunitas, aktivis HAM dan perempuan bersatu menuntut keadilan bagi Agni dan Nuril. Lebih dari sepekan media hangat memberitakan kasus ini. Dari kacamata penulis pribadi hal ini satu gerakan reaktif, belum terjadi secara massif dan berkesinambungan.


Tanpa adanya kasus Nuril dan Agni pun, aslinya merujuk data dari Komnas Perempuan, kondisi Indonesia darurat kekerasan seksual sejak tahun 2012. Namun belum ada aksi nyata dari pemerintah bertindak menyelesaikan kasus kekerasan seksual, terutama di bidang regulasinya. 

Sejak jauh-jauh hari Komnas Perempuan dan jajaran aktivis perempuan, terus mendesak adanya payung hukum terhadap penghapusan kekerasan seksual. 

Namun, gerakan ini seolah kurang didengar pihak birokrasi. Gerakan-gerakan aktivis berhenti di tataran aksi turun jalan, terkadang lebih ke arah sporadis dan temporal. Baru setelah ada kasus besar, misal kasus Agni dan Nuril, para aktivis dan jajaran organisasi perempuan seolah mendapat amunisi baru. Mereka lantang dan keras menyuarakan keadilan, media pun mengawalnya. Sejurus mata kamera dan reportase mendalam mem-blow up kasus Agni dan Nuril.


Kondisi ini menguatkan perjuangan hak dan keadilan perempuan, massif dan reaktifnya aksi ini birokrasi mulai melirik. Satu dua pernyataan birokrasi terlontar dari beberapa fraksi DPR. Lantas penulis bertanya kenapa harus ada korban dulu baru viral?  Kenapa harus ada korban dulu, baru media ramai-ramai memberitakan? 

Sangat rawan sekali, dan ini yang sangat disayangkan penulis. Kalau kasus kekerasan seksual hanya menjadi isu komoditas semata. Boom! Lantang! Lalu hilang. Kasus kekerasan seksual dan perjuangan keadilannya adalah tanggung jawab bersama. 

Bukan hanya tugas para LSM dan organisasi perempuan semata. Dan media, jangan sampai terperosok menjadikan kasus ini sebagai komoditas yang seksis menarik rating pembaca, tapi lebih dari itu sesuai marwah media berfungsi sebagai social of change, turut mengawal perjuangan bersama hingga "goal" dalam pengesahannya menjadi undang-undang oleh DPR.


Data Kekerasan Seksual
Penulis mengutip dari data Komnas Perempuan, tercatat selama 11 tahun (2001-2012) setidaknya ada 35 perempuan menjadi korban kekerasan seksual setiap hari. Pada tahun 2012, setidaknya telah tercatat 4.336 kasus kekerasan seksual, di mana 2.930 kasus terjadi di ranah publik/komunitas. Mayoritas bentuknya adalah pemerkosaan dan pencabulan (1.620). sedangkan pada tahun 2013 meningkat menjadi 5.629 kasus. Usia korban antara 13-18 tahun dan 25-40 tahun.

Peliknya pengungkapan dan penyelesaian kasus kekerasan seksual dikarenakan faktor kesucian moralitas masyarakat. Perempuan masih dipandang simbol kehormatan. Ketika terjadi kasus pelecehan seksual, lantas menodai kesucian itu. Masyarakat terjebak pandangan naif, lebih baik menutup kasus pelecehan seksual daripada menyelesaikannya. Jalan keluar yang keliru ini diambil oleh korban, keluarga dan masyarakat lingkungan korban.


Komnas perempuan merangkum 15 bentuk kekerasan seksual yang dirangkum dari berbagai sumber :


Perkosaan
Intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan
Pelecehan seksual
Eksploitasi seksual
Perdagangan perempuan untuk untuk tujuan seksual
Prostitusi paksa
Perbudakan seksual
Pemaksaan perkawinan termasuk cerai gantung
Pemaksaan kehamilan
Pemaksaan aborsi
Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi
Penyiksaan seksual
Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual
Praktik tradisi yang bernuansa seksual yang membahayakan dan mendiskriminasi perempuan
Kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama


Data yang penulis rangkum di atas merujuk data dari tahun 2001-2012, memang tidak up to date tapi setidaknya bisa menjadi penanda penting kasus kekerasan seksual harus bisa kita tanggulangi. Tidak menutup kemugkinan data terbaru 2018, kasus ini meningkat drastis. Tidak berlebihan kita menyebut, bangsa Indonesia ini darurat kekerasan seksual. Sangat perlu penanganan kasus itu, untuk mengurangi jatuhnya korban lebih banyak lagi.

Dan itu merupakan data yang tercatat, belum lagi ratusan kasus di luar sana yang tidak tercatat. Mengingat tabu dan stigma moralitas kesucian inilah, korban lebih memilih mengubur kasus daripada melaporkannya ke pihak terkait.


Urgensi Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Perempuan rawan menjadi sasaran kekerasan seksual. Bentuk kekerasan seksual ini paling banyak tindakan perkosaan dan pencabulan. Dua tindakan ini aslinya masuk dalam ranah KUHP. Penulis mengutip data dari Komnas Perempuan beberapa regulasi yang menaungi kekerasan seksual, di antaranya:


Lingkup nasional


Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 285, 286, 287, 290, 291
Undang-undang N0. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) Pasal 8 ayat B, 47 dan 48
Undang-undang No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 ayat 15, 17 ayat 2, 59, dan 66 ayat 1 dan 2, 69, 78 dan 88


Lingkup Internasional


Statuta Roma Pasal 7 ayat 2G, Pasal 29 ayat 1 dan 2, Pasal 68
Regulasi Pengesahan PBB 1820 tentang Kekerasan Seksual Dalam Konflik Bersenjata
Deklarasi Penghapusan Tindak Kekerasan terhadap Perempuan (ICPD) pada bulan Desember 1993
Deklarasi Wina 1993


Selintas dengan melihat regulasi nasional dan internasional, menggambarkan persoalan kekerasan seksual telah mendapat jaminannya. Namun apa demikian? Regulasi di Indonesia sangat membutuhkan regulasi khusus penanggulangan Kekerasan Seksual, pasalnya regulasi yang ada seperti KUHP masih lemah secara subtansi. 

KUHP belum tepat sasaran, pembahasannya belum mendetail. Aspek-aspek krusial perlindungan korban pun belum tersentuh secara holistik. Selain itu bentuk-bentuk kekerasan seksual lebih digeneralisasikan ke tindakan perkosaan dan pencabulan. Pandangan KUHP ini berseberangan dengan ruang lingkup kekerasan seksual yang berjumlah 15 bentuk.

Selain itu, KUHP belum mengakomodasi hak dan perlindungan korban secara menyeluruh. Sebagai contoh kasus Agni, ganti denda tindak kekerasan seksual belum sepantasnya. Sementara pada kasus Nuril, justru Nuril menjadi revictim dari kasusnya sendiri. Jelas kan? Indonesia butuh regulasi yang otentik utuh dan tuntas menanggulangi kekerasan Seksual. 

Baik dari penaganan kasus, pendampingan psikologis korban, pemenuhan hak dan keadilan korban. Dengan disahkannya RUU PKS, perempuan Indonesia mempunyai legalitas naungan yang melindungi harkat, hak dan eksistensinya. Sehingga mampu mengurangi angka kekerasan seksual. Saat ini RUU PKS tengah mandeg di DPR, mari bersama-sama kita kawal dan goalkan misi kebangsaan ini. Ayo!

Cilacap, 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun