Mohon tunggu...
Winda Dwika
Winda Dwika Mohon Tunggu... Mahasiswa - UIN Imam BOnjol Padang

saya adalah seseorang yang sangat suka mencoba hal-hal baru

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hama di Balik Pintu Pulang

5 Desember 2024   22:18 Diperbarui: 5 Desember 2024   22:33 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam itu, suara jangkrik terdengar nyaring di sela-sela pekatnya malam. Aku baru saja tiba di desa setelah menempuh perjalanan panjang dari kota. Pulang adalah satu-satunya hal yang kutunggu-tunggu selama setahun perjalanan. Tempat ini adalah rumah tempatku tumbuh dan berkembang ditengah kerasnya kehidupan.

 Namun, langkahku terhenti didepan gerbang kayu tua yang mulai rapuh. Ada sesuatu yang aneh. Udara disekitar terasa asing, seperti ada yang hilang.

Ketika aku membuka pintu, pemandangan didalam rumah membuatku terdiam. Tidak ada lagi harum kayu yang biasanya menyambutku. Lantai bambu yang kini ditumbuhi lubang-lubang, dinding-dinding anyaman yang terlihat usang, dan bau menyengat meruak dari seluruh penjuru ruang.

Aku bergegas mencari ayah. Biasanya, ia duduk diteras sambil menyeruput kopi hitam. Namun, ia tidak ada. Dikamar tidurnya, aku menemukan selembar kertas lusuh diatas meja kayu yang hampir rubuh.

"Nak, hama telah datang. Mereka mengambil tempat kita. Aku pergi mencari tempat baru, tapi hatiku tetap masih disini, di rumah ini."

Tanganku gemetar, "Hama?" pikirku. Apakah yang ayah maksud?.

Saat matahari mulai menyombongkan sinarnya, aku mulai menyadari kehadirannya. Rayap. Mereka menjalar sepanjang dinding dan atap, menggerogoti kayu yang menjadi fondasi rumah ini. Tidak hanya itu, hama-hama lain seperti tikus juga mulai menjadikan tempat ini sebagai sarang mereka.

Aku merasa marah, sedih, dan tak berdaya. Rumah yang selama ini menjadi simbol kehangatan, keamanan, dan perjuangan kini runtuh secara perlahan. Tidak ada lagi suara tawa, tidak ada lagi riuhh canda yang mengiringi. Semua itu seakan dimakan waktu dan hama yang tanpa ampun.

Namun, aku tidak ingin menyerah. Aku membersihkan sudut-sudut ruangan, menyingkirkan puing-puing, dan mencoba menyelamatkan apa yang tersisa. Tapi semakin keras aku berusaha, semakin nyata bahwa tempat ini tida lagi sama.

Hari mulai gelap saat aku duduk dihalaman rumahku, menatap hamparan sawah yang begitu indah. Rumah ini telah menjadi simbol kehilanganku. Hama itu bukan hanya tentang rayap dan tikus, melainkan waktu yang terus berjalan tanpa memberi tanda apapun.

Aku mengerti, tidak semua yang kita sebut rumah bisa bertahan selamanya. Kadang, rumah harus kita bawa didalam hati, meskipun tempat fisiknya telah hancur. Dengan berat hati, aku melangkah pergi, membawa sisa kenangan bersamaku. Tempat pulangku mungkiin telah hilang, tetapi cintaku padanya tak kan pernah padam.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun