budaya yang menjunjung tinggi adat istiadat dan tradisi leluhur bangsa. Kisah-kisah unik dan menarik yang tersembunyi di balik keindahan hasil cipta karsa manusia menjadi saksi bisu yang penting untuk diketahui dan dipelajari hakikat serta maknanya demi kehidupan yang lebih baik.
Sejarah Indonesia begitu lekat dengan nilai-nilaiDalam memahami sebuah makna yang tersirat, tentu saja tidak terlepas dari peran sejarah dan budaya yang melingkupinya. Sehingga, memahami makna suatu budaya berarti juga memahami elemen-elemen lain yang terdapat dalam suatu kebudayaan menggunakan sudut pandang yang sesuai dengan jiwa zamannya.
Salah satu warisan luhur bangsa yang sarat dengan budaya Jawa, ialah Keraton Kasunanan Surakarta. Nilai-nilai religius dan simbolik yang terdapat di berbagai sisi keraton merupakan fokus utama dari pengembangan kehidupan spiritual untuk memperluas pandangan, merangsang daya imajinasi, dan memperdalam pemahaman manusia akan dirinya, masyarakat, serta alam lingkungannya, baik secara fisik maupun metafisik. Bentuk dan estetika bangunan keraton yang terlihat saat ini, merupakan penggambaran atas alasan di balik ekspresi maupun praktik kebudayaan tersebut.
Meskipun demikian, unsur dan struktur bangunan Keraton Kasunanan Surakarta ternyata merupakan hasil dari akulturasi beberapa kebudayaan, khususnya Eropa, dalam arsitektur Jawa, yang tampak dalam bentuk bangunan, ornamen, serta pilihan warna yang digunakan pada setiap bangunan.
Sejarah Keraton Kasunanan Surakarta
Dalam pandangan masyarakat Jawa, keraton dianggap sebagai representasi dari makrokosmos (terkait dengan Tuhan) dan mikrokosmos (yang berkaitan dengan manusia), di mana raja sebagai pusatnya dianggap menjadi perwujudan dewa yang menghubungkan antara alam semesta (adikodrati) dengan dunia (kodrati).Â
Oleh karena itu, keraton dianggap sebagai pusat dari lingkaran dengan konsep konsentris yang membentuk pola kawasan khusus dan memiliki deretan bangunan yang membentang dari utara hingga selatan.
Bangunan Keraton Kasunanan Surakarta dirancang dengan tujuan untuk memperkuat karisma penguasanya dengan keyakinan bahwa raja memiliki kekuasaan yang bersifat keilahian. Dari Gapura Gladag di utara hingga Gapura Gadhing (Gapurendra) di selatan, seluruh bangunan keraton mencerminkan pandangan makrokosmos dan mikrokosmos yang terletak pada pertemuan empat arah mata angin.
Sejarah berdirinya Keraton Kasunanan Surakarta bermula dari runtuhnya Kerajaan Mataram Kartasura akibat konflik internal keluarga yang dimanfaatkan oleh Belanda untuk menjalankan politik adu domba. Setelah kerusuhan dan perebutan kembali Kartasura oleh Sunan Pakubuwono II dengan bantuan Belanda berhasil dilakukan, sejumlah peristiwa politik penting terjadi.Â
Meskipun Kartasura berhasil direbut kembali, namun keraton tersebut tidak dapat difungsikan lagi karena mengalami kerusakan yang mengkhawatirkan akibat peristiwa Geger Pecinan pada tahun 1743. Oleh karena itu, Sunan Pakubuwono II memutuskan untuk membangun keraton baru di Desa Sala (Solo), yang kemudian dikenal sebagai Surakarta.
Keraton Kasunanan Surakarta diresmikan pada tahun 1745 dan terus mengalami perkembangan seiring dengan pergantian raja yang memimpin, mulai dari masa pemerintahan Pakubuwono II hingga saat ini. Perkembangan tersebut tetap mengacu pada konsep tata ruang keraton terdahulu yang terus dipertahankan, sehingga menjadikan Keraton Kasunanan Surakarta sebagai lambang kelestarian budaya Jawa yang diwariskan secara turun-temurun dan masih berlangsung hingga kini.