Kasus anak pejabat arogan dan suka pamer harta yang berakhir celaka karena wanita, kembali terjadi setelah 167 tahun yang lalu tercatat dalam sejarah Indonesia, menimpa Oey Tamba Sia di Batavia pada masa kolonial Belanda.
Sudah menjadi hal lazim kiranya bahwa pria lemah terhadap tiga hal: harta, tahta, dan wanita. Bagaimana tidak, dalam kasus yang melibatkan seorang anak pejabat berusia 20 tahun, MDS, secara brutal menghajar habis-habisan anak laki-laki yang tiga tahun lebih muda darinya, DO, hingga koma dan mengalami trauma dahsyat, bahkan diprediksi mustahil untuk kembali seperti sediakala. Pasalnya, kejadian tersebut ditengarai berawal dari ucapan sang kekasih, AG (15 Tahun), yang merasa diperlakukan tidak baik oleh mantan pacarnya (D), membuat pelaku dendam dan segera mendatangi korban, lalu menghajarnya hingga tak sadarkan diri. Publik dibuat tak habis pikir oleh perbuatannya, sebab usai melakukan aksinya tersebut, arogansi Mario yang merasa bak raja nan perkasa, kemudian melakukan selebrasi ala mega bintang top dunia.
Rekaman video yang memperlihatkan aksi brutal MDS beredar luas di media sosial. Bak harimau yang gelap mata, warganet berbondong-bondong mencari tahu asal-usul si pelaku. Terungkaplah keluarga, kekayaan, dan sumber harta lainnya. Mario ternyata merupakan anak dari seorang pejabat pajak eselon dua, RAT, yang memiliki kekayaan mencapai Rp56 miliar. Si anak pejabat kaya ini, nampaknya gemar memamerkan barang-barang mewah yang dimilikinya melalui saluran publik, ditengah sengkarutnya kehidupan sosial yang semakin menampakkan jurang pemisah antara si kaya dan si miskin, dalam rangka unjuk eksistensi strata keluarganya. Arogansi anak pejabat pajak tersebut, berhasil membawanya ke dalam jeruji besi untuk menjalani serangkaian pemeriksaan sebagai tersangka atas kasus penganiayaan. Hal tersebut sontak menggemparkan institusi tempat ayahnya bekerja, hingga Menteri Keuangan Indonesia, Sri Mulyani, turun tangan karena ikut terseret oleh kasus ini. Sungguh Luar biasa! Karena dendam berahinya, satu institusi terpaksa harus berbenah diri.
Kasus serupa yang melibatkan keluarga pejabat, karena anaknya memiliki tabiat buruk dan suka pamer harta tersebut, ternyata pernah terjadi pada masa kolonial Belanda. Mengutip perkataan Adrian Perkasa, dosen Ilmu Sejarah Unair, dalam artikel nu.or.id, fenomena pamer harta dan gaya hidup mewah itu ternyata sudah mengemuka sejak awal abad ke-19 ketika materialisme semakin menjangkiti orang-orang kaya baru, karena melejitnya usaha perkebunan. Selain itu, dalam laman historia.id, Firman Lubis mengatakan bahwa orang kaya baru itu termasuk pula para pejabat yang tiba-tiba kaya setelah menduduki jabatan strategis dalam pemerintahan, juga orang-orang yang ketiban warisan. Mereka berpengarai sangat lekat dengan sifat sombong dan tujuan hidupnya amat rendah, hanya mengandalkan pada orang tuanya saja.
'Anak ketiban warisan', itulah julukan yang cocok untuk Oey Tamba Sia. Pemuda berusia 15 tahun yang mendapat warisan kekayaan dari ayahnya berupa lahan di Pasar Baru dan Curug Tangerang dengan biaya sewa seharga 95 ribu Gulden dalam setahun, sejumlah rumah, uang, dan perhiasan yang bila ditotalkan nilainya mencapai 2 juta Gulden, menjadi harta kekayaannya dalam sekejap. Oey Tamba Sia mendadak jadi crazy rich! Bahkan, dalam buku Indonesia Poenja Tjerita (2016) yang disunting oleh Roso Darsa, tertulis bahwa pada saat itu, hanya sedikit orang yang memiliki harta kekayaan sebanyak ayahnya.
Dalam [Bukan] Tabu di Nusantara (2018), Achmad Sunjayadi menerangkan bahwa Oey Tamba Sia telah hidup berkecukupan sedari kecil dan tak pernah mengenal esensi bekerja keras. Sehingga, di usia mudanya yang dianugerahi kekayaan bapak itu, arogansi tumbuh cepat dalam dirinya, membuat ia tak segan menggunakan harta itu untuk berfoya-foya. Dengan jiwa muda bermodal tampan dan kaya raya, Oey Tamba Sia senantiasa berpakaian mewah necis ala model Tionghoa dengan topi karpus sutra yang menghiasi kepalanya, menunggangi kuda di sekeliling kota dengan dikawal kaki tangannya, berjudi, bermadat, adu jago, dan bermain perempuan menjadi kesukaannya. Bahkan, ia memelihara tukang pukul dan beberapa germo yang selalu siap sedia menyuplai wanita-wanita untuk memenuhi nafsu berahinya. Jika sudah berkeinginan, Oey Tamba Sia tak segan-segan menggunakan pengaruh kekayaannya itu, bahkan dengan cara-cara kotor sekalipun untuk mewujudkannya. Terlebih, hasratnya yang kuat pada perempuan, berakhir membawanya ke tiang gantungan.
Tersohornya nama Oey Tamba Sia sebetulnya tak terlepas dari peranan sang bapak, Oey Thoa, yang terkenal seantero kota karena kekayaannya. Oey Thoa merupakan pemilik toko tembakau terbesar di Toko Tiga, Jakarta pada tahun 1830-an. Pedagang Tionghoa asal pekalongan itu tak hanya terkenal karena kaya raya, akan tetapi plus dengan kedermawanannya. Benny Setiono dalam bukunya yang berjudul Tionghoa dalam Pusaran Politik (2008), mengenang kedermawanan Oey Thoa dengan menggambarkan sosoknya yang baik hati dan suka menolong itu, ketika membagikan bantuan secara rutin kepada ratusan orang miskin setiap tanggal 1 dan 15 kalender Tionghoa di Kelenteng Kim Tek le, tempatnya melakukan ibadah.Â
Selain itu, ayah Oey Tamba Sia juga merupakan orang yang terpandang, karena memiliki jabatan sebagai Luitenand der Chinezen atau Letnan Etnis Tionghoa di Batavia yang didapatkannya karena memiliki kedekatan dengan Mayor Tionghoa, Tan Eng Goan, yang dikenal sebagai ketua dewan orang-orang Tionghoa. Namun nahas, tak lama setelah mendapatkan jabatan itu, Oey Thoa meninggal dunia. Berkat ayahnya yang berpangkat itu, Oey Tamba mendapatkan gelar kehormatan "Sia" yang biasa digunakan dalam kalangan masyarakat Tionghoa peranakan di Jakarta zaman itu, untuk menunjukkan bahwa orang yang bersangkutan merupakan anak dari seorang opsir Tionghoa.
Sayangnya, tak ada sifat baik sang ayah yang terwariskan pada Oey Tamba Sia. Satu-satunya yang terwariskan itu hanyalah kekayaannya. Untuk memperlihatkan betapa kaya rayanya Oey Tamba Sia, ia terbiasa mengelap kotorannya dengan lembaran uang setiap kali selesai buang hajat di kali Toko Tiga depan rumahnya. Uang kotor yang berlumuran najis itu lantas dibuangnya begitu saja. Bahkan, dalam [Bukan] Tabu di Nusantara (2018), digambarkan kericuhan warga yang memperebutkan uang kotor itu untuk dibersihkan.
Keangkuhan Oey Tamba Sia itu nampak pula pada sikapnya yang merendahkan para pemimpin Tionghoa sahabat ayahnya. Ia malah menjalin hubungan baik dengan para pembesar Belanda yang sama-sama hina seperti dirinya, dengan memanfaatkan harta kekayaannya untuk menjadi pelindung bagi dirinya. Ia merasa bahwa uangnya itu dapat mengabulkan semua keinginannya, tanpa peduli pada akibat yang bisa muncul terhadap orang lain.