Menghampar gejala keputusasaan yang menjalar luas, begitu terpampang di hadapan kita. Deraan kesulitan ekonomi dan penghancuran harkat, serta martabat sang insan, menjadi jejak dari proses kegagalan sosiologis yang panjang terbentang. Kekecewaan masyarakat, menari secara vertikal, menghujam pemerintah yang tak mampu menepis siksaan ekonomi. Kecemburuan horizontal merayap, iri akan mereka yang hidupnya merona dalam kesejahteraan. Sebuah bom waktu, tercipta dalam rongga mahajana yang menanti bara, pemicu terjadinya ledakan yang amat dahsyat.
Gejolak ekonomi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1960-1970-an, seperti inflasi yang sangat mengkhawatirkan dengan nilai rata-rata sebesar 196,08% pada tahun 1960-an dan cenderung fluktuatif pada tahun 1970-an, ditambah dengan ketidakmampuan uang negara dalam membiayai proyek pembangunan, sehingga berusaha memperoleh dana melalui cara-cara yang tidak jelas, membuat semakin nampaknya jurang pemisah antara yang kaya dengan rakyat biasa.
Dalam kondisi yang seperti itu, harga kebutuhan pokok kian melonjak daripada tahun-tahun sebelumnya. Masyarakat etnis Tionghoa yang sejak dulu menguasai beberapa mata rantai perekonomian, tampaknya tidak begitu merasakan sulitnya kehidupan ekonomi seperti kebanyakan rakyat pribumi yang morat-marit demi sesuap nasi. Sehingga, timbullah kecemburuan di hati para penghuni asli. Belum lagi, dengan sikap sebagian dari mereka, khususnya generasi muda yang doyan bergaya dan pamer harta, namun rendah rasa kesetiakawanan sosialnya, semakin menumbuhkan keirihatian masyarakat terhadap kelompok sosial itu.
Suasana yang mengarah pada ketegangan antaretnis itu pun terbawa masuk dalam ranah akademisi. Perkelahian antara mahasiswa keturunan Tionghoa dengan mahasiswa pribumi di kampus ITB yang disebabkan oleh ketidaksengajaan senggolan sepeda motor, membuat adanya kerusuhan dan penyerangan terhadap etnis Tionghoa di Kota Bandung, yang sebetulnya dipicu oleh aksi kerusuhan anti-Tionghoa di Cirebon dan sekitarnya pada tanggal 27 Maret 1963. Kerusuhan yang terjadi pada tanggal 10 Mei tahun 1963 di Kota Bandung tersebut, memuncak karena perasaan solidaritas diantara segenap mahasiswa. Aksi massa dalam pengrusakan toko-toko, rumah tinggal, dan kendaraan milik orang-orang Tionghoa di Kota Bandung tersebut dipelopori oleh mahasiswa ITB dan Universitas Padjajaran yang memiliki sentimen negatif terhadap etnis Tionghoa.
Tak cukup sampai disitu, satu dasawarsa setelahnya, peristiwa kerusuhan yang terjadi di Kota Bandung pada tahun 1973, memiliki latar belakang yang sama seperti kerusuhan sebelumnya, yaitu bermula dari persoalan individual yang memicu terjadinya kerusuhan rasial. Huru-hara anti etnis Tionghoa pada tanggal 5 Agustus tahun 1973 tersebut, dipicu oleh adanya pemukulan terhadap seorang kusir, bernama Asep Tosin, yang dilakukan oleh seorang pemuda keturunan Tionghoa. Sebelumnya, sang kusir gerobak kuda tersebut tidak sengaja menyenggol sebuah sedan putih VW yang dimiliki oleh pemuda Tionghoa tersebut di Jalan Astana Anyar, dekat gedung bioskop Siliwangi.
Tak lama setelah menyebarnya berita bahwa Asep Tosin telah dianiaya oleh orang Tionghoa hingga meninggal dunia, terjadi kesalahpahaman di antara penduduk pribumi, yang semakin diperparah ketika mereka mengetahui bahwa pemuda Tionghoa tersebut memilih melarikan diri daripada membawa Asep Tosin ke rumah sakit. Amarah semakin melanda pihak-pihak yang mengetahui kejadian tersebut. Kemudian, massa mulai melakukan perusakan dan pembakaran terhadap rumah, toko, serta barang milik penduduk Tionghoa, yang berkembang menjadi penggarongan barang, penganiayaan, bahkan pemerkosaan, juga pembunuhan. Meskipun pelaku pemukulan sebenarnya telah menyerahkan diri kepada pihak berwajib, dan Asep Tosin sendiri dalam keadaan baik-baik saja, namun kerusuhan yang sudah terjadi tidak bisa lagi dicegah. Massa yang marah begitu bersemangat dan tidak memedulikan siapa yang menjadi korban. Sehingga, kerusuhan semakin meluas hampir ke seluruh wilayah Kota Bandung.
Akibat peristiwa tersebut, kerugian besar amat dirasakan oleh masyarakat etnis Tionghoa. Mereka kehilangan harta benda dan pekerjaannya, karena pabrik-pabrik dibakar dan aset-aset dimusnahkan. Selain itu, dampak sosial yang terasa setelah kejadian tersebut, adalah semakin kentaranya jarak pada hubungan antara pribumi dengan etnis Tionghoa. Penduduk Tionghoa yang tinggal di Kota Bandung pada saat itu, mulai kehilangan kepercayaan terhadap masyarakat pribumi, sekaligus merasa khawatir dan dihantui oleh bayang-bayang ketakutan bila peristiwa serupa terulang kembali, bahkan dengan kondisi yang lebih parah. Akibatnya, untuk sementara waktu, mereka lebih memilih meninggalkan Kota Bandung hingga keadaan benar-benar kembali seperti semula.
Sentimen anti etnis Tionghoa yang menyebabkan terjadinya diskriminasi rasial terhadap etnis Cina di Indonesia, tidak terlepas dari sentimen sosial dan kesenjangan ekonomi yang ada. Kerusuhan yang terjadi di Kota Bandung, bahkan terulang kembali pada tanggal 5 Agustus 1973, setelah peristiwa pertama terjadi pada satu dasawarsa sebelumnya, yaitu tahun 1963. Kedua peristiwa tersebut memiliki pola, kecenderungan, dan struktur kejadian yang relatif sama, yaitu dimulai dari insiden kecil individual yang kemudian berkembang menjadi peristiwa besar bernuansa rasial dalam waktu yang terbilang singkat. Pada insiden tahun 1963, para pelakunya cenderung homogen, karena dilakukan oleh kalangan mahasiswa dan pelajar. Sedangkan, pada peristiwa tahun 1973, orang-orang yang terlibat dalam kejadian tersebut tergolong heterogen. Sebab, melibatkan beberapa lapisan masyarakat. Baik pada peristiwa pertama maupun kedua, target kemarahan massa tetap sama, yaitu pada etnis Tionghoa.