Kapolri mengeluarkan surat telegram yang dikhawatirkan mengebiri pers, tidak transparasi kepada masyarakat dan menghambat kinerja rekan media.
Oleh : Winda Arsitha Anggraini
Media massa adalah komponen penting dalam proses komunikasi yang bertujuan untuk memberi informasi, menyedia informasi, memberi pengetahuan kepada masyarakat. Media massa adalah bagian dari pers. Menurut Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999 Bab 1 Pasal 1, Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya menggunakan media cetak, media elektronik, media siber dan segala jenis saluran yang tersedia.
Media massa perlu diatur karena media massa berada di tengah-tengah masyarakat atau berada di tengah kehidupan sosial dan memiliki pengaruh yang sangat besar. Hukum media massa adalah hukum yang mengatur kepentingan umum dan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan aktivitas komunikasi yang diperantarai oleh media massa. Dengan demikian diharapkan media massa mampu menyajikan apa saja yang dibutuhkan oleh kita sebagai masyarakat dan berperilaku sewajarnya mengikuti Undang-Undang atau peraturan yang berlaku sesuai dengan keinginan masyarakat.
Siapapun pasti menginginkan citra mengenai dirinya terlihat baik apalagi di depan masyarakat luas. Begitu pula dengan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang berada dilingkup masyarakat, yang sering bertemu kita di jalan maupun jika kita ada urusan di kantor polisi, yang bertugas untuk menegakkan hukum di Indonesia, memelihara ketertiban masyarakat di Indonesia, dan juga mengayomi masyarakat Indonesia.
Polri selalu menginginkan dan menciptakan citra yang baik dihadapan masyarakat, sehingga pada 5 April 2021 yang lalu Kapolri Listyo Sigit mengeluarkan surat telegram mengenai larangan media menyiarkan kekerasan dan arogansi yang di lakukan oleh polisi. Namun tidak lama surat telegram tersebut dikeluarkan, selang satu hari surat telegram tersebut dicabut atau dibatalkan.
Ada 11 poin yang tertera pada surat telegram tersebut dan media dihimbau untuk menayangakan liputan yang bersifat kegiatan polisi yang tegas namun humanis. Poin-poin tersebut juga diharapkan dapat memperbaiki kinerja Polri di daerah. Tidak seperti yang diharapkan, pada kenyataannya setelah surat telegram itu tersiar kepada publik malah mendapatkan respon yang tidak sejalan dengan yang diinginkan oleh Kapolri. Ramai di jejaring media sosial khususnya twitter mebahas tentang surat telegram ini.
Bagaimana tidak sejalan, masyarakat bereaksi dalam jejaring media sosial yang mereka miliki dan memberikan kritikan maupun opini mereka dan mereka khawatir jika surat telegram tersebut membuat Polri menjadi antikritik. Bahkan banyak pihak yang merasakan bahwa surat telegram tersebut adalah kebiri pers.
Memang surat telegram tersebut bersifat internal, namun terdapat beberapa poin yang bersifat eksternal sehingga dinilai membatasi kebebasan pers dan disebut juga kebiri pers. Transparasi kepada kita sebagai masyarakat Indonesia jadi tertutup karena adanya isi surat telegram tersebut. Padahal masyarakat memiliki hak untuk mengetahui apa yang sedang terjadi ataupun informasi-informasi yang ada di Indonesia secara transparasi dan sebenar-benarnya.