Dalam konteks ini, pandemi baru mendapat perhatian yang cukup serius ketika rating dari kasus penularannya menjadi semakin meninggi dan tak terkendali.Â
Keseriusan yang seakan-akan mampu mengatasi pandemi itu ternyata hanya sebatas simulakra yang dimainkan untuk menunjukkan bahwa pandemi masih dalam kendali.Â
Namun nyatanya toh kendali itu hanya untuk meredam kegelisahan, bahkan ketakutan, yang membuat banyak orang patuh dan tunduk pada apa yang telah diputuskan. Seperti tampak pada PPKM Level 4 yang telah menjadi serial seperti tayangan sinetron ini, tiada satupun yang dapat untuk dipertanyakan, apalagi digugat sekalipun.Â
Pun jika ada yang mengajukannya, dengan segera akan dibuat seolah-olah tanpa dasar atau bukti yang nyata. Padahal kenyataannya justru memperlihatkan bahwa pandemi ini telah menjadi topeng kemanusiaan yang paling ampuh untuk menutupi trik dan intrik yang sedang dimainkan.Â
Entah dalam bentuk kelangkaan oksigen misalnya, atau keterbatasan untuk mengakses vaksin, topeng kemanusiaan di tengah pandemi telah dipertontonkan dengan begitu nyata, namun kenyataan yang sesungguhnya dengan mudah ditepis dengan hiper-realitasnya pandemi.Â
Singkatnya, pandemi telah menghasilkan realitas yang seolah-olah lebih real bahwa Covid-19 dengan berbagai variannya saat ini lebih dari apapun juga. Maka, tiada jalan lain, kecuali "ikuti PPKM dan taati prokes", sebagaimana kerap diiklankan, daripada dianggap tidak aktual, relevan, dan signifikan lantaran tidak menonton sinetron Ikatan Cinta misalnya.Â
Dan tragisnya ternyata apa yang diperingatkan oleh Neil Postman (1985) berkaitan dengan salah satu agenda besar dari media, khususnya televisi, dalam episode "menghibur diri sampai mati" sedang ditayangkan ulang selama pandemi ini. Begitukah?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H