Seusai menonton film berjudul "Pocong the Origin", seorang perempuan belia yang masih berstatus mahasiswi berkomentar singkat demikian: "Wah gak seru, gak ada ending-nya!"Â
Komentar yang sebenarnya sudah bukan rahasia umum lagi karena film yang bergenre horor dari Indonesia biasanya memang tanpa ending. Artinya, tidak perlu berharap terlalu besar bahwa ada happy atau sad ending dari film yang diproduksi di negeri ini. Â
Itulah mengapa sebagian besar tontonan yang disajikan di hadapan publik, termasuk dalam rupa sinetron, dapat mencapai ratusan episode. Mengapa demikian?
Pertama, karena sinetron adalah panggung hiburan yang dimanfaatkan untuk menghasilkan pendapatan. Mirip dengan iklan, panggung itu selalu ditampilkan sebagai komoditi nomor satu yang tiada saingannya.Â
Selain itu, komoditi itu sebisa mungkin dipandang sebagai cermin atau tiruan dari kehidupan masyarakat pada umumnya. Maka tak heran jika tontonan sejenis itu ditargetkan untuk mencapai rating yang mampu menempatkannya di posisi "prime time".Â
Dengan kata lain, tontonan itu dapat menjadi hiburan di waktu senggang pada saat sebagian besar masyarakat sudah tidak disibukkan lagi dengan rutinitas hidup sehari-hari.
Kedua, hiburan yang serba instan, remeh-temeh, dan tidak terlalu lama atau panjang itu dapat tetap ditonton sembari mengerjakan hal lain.Â
Contohnya makan malam bersama dalam keluarga, atau mendampingi dan mengawasi anak-anak di rumah. Jadi, meski berada dalam ruang dan waktu yang berbeda, antara sinetron dan kehidupan sehari-hari masih dapat tampil bersamaan. Inilah yang disebut oleh Benedict Anderson dalam bukunya yang berjudul Imagined Communities.Â
Komunitas-komunitas Terbayang (Pustaka Pelajar dan Insist Press, 2001) sebagai "homogenous empty time" atau waktu luang yang homogen.Â
Dalam arti ini, serupa dengan novel yang dapat berkisah tentang beragam hal pada saat yang sama meski di tempat yang berbeda, sinetron dan kehidupan sehari-hari juga dimungkinkan dapat berjalan bersama hanya berkat jasa dari kata "sementara itu" atau "meanwhile".
Inilah kata yang seolah-olah memberi kuasa pada para pembaca novel dan penonton sinetron atau film untuk mengetahui, bahkan menilai, apa yang baik atau buruk, serta siapa yang layak dibela atau dicaci-maki.Â