Salah satu keunikan dan boleh jadi masih menjadi keunggulan dari bangunan gereja di Luar Jawa adalah pada ornamen-ornamennya yang sebagian besar terbuat dari dari kayu. Mengapa? Karena barangkali kayu masih mudah didapat lantaran hutan masih terawat dan terjaga dengan amat baik.
Di bawah ini adalah beberapa contoh dari penampakan gereja Katolik di Sumatera Utara, yaitu:
1) Gereja Annai Velangkanni, Medan,
2) Gereja Santa Maria, Tarutung,
3) Gereja Santo Mikael, Pangururan,
4) Gereja Dame Saitnihuta, Tarutung.
Jadi, sebenarnya ada beragam kisah yang menarik untuk ditelusuri dari sejarah gereja misi di Indonesia masa lalu yang di masa kini dapat dijadikan semacam peringatan bahwa masuknya misi Kristen/Katolik ke berbagai pelosok daerah adalah berkat semangat hamajuon/kemajuan/modernitas di awal abad ke 19.
Di Sumatera Utara (Sumut), tanah-tanah adat yang berupa bukit-bukit menjadi saat dan tempat yang tepat bagi gereja misi awal (Nomensen), seperti di Pearaja, untuk didirikan sekolah dan rumah sakit.Â
Baru sesudahnya gereja dibangun di lembah-lembah seperti di Tarutung. Maka tak heran tanah gereja misi menjadi tampak luas membentang di sepanjang tepian danau Toba. Itulah cikal-bakal jemaah gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) yang bertahta di Samosir, namun tetap dalam pengawasan masyarakat Toba.
Saingan/rival beratnya di masa kini adalah para perantau Batak yang sukses, dalam arti berpangkat/bertitel/berduit, entah dari sipil atau militer. Konon kabarnya sejak awal Siantar lebih populer daripada Medan.Â
Karena itulah, menurut laporan survei dari Setara Institute tahun 2017 lalu, Pematangsiantar dinobatkan sebagai kota yang "paling toleran". Keluarga Sitorus yang dikenal sebagai pemilik perkebunan Sawit lewat salah satu kerabatnya maju sbg cawagub mendampingi cagub pilihan dari PDIP dalam Pilkada di Sumut tahun 2018 ini.
Lalu, apa hubungan Pilkada dengan sejarah gereja misi di Sumut? Inilah pelajaran menarik yang dapat dipetik bahwa antara masyarakat di Sumut punya sejarah yang gelap dengan para laskar di tahun 1945-1946 karena terlibat dalam pembantaian sanak keluarga dan kerabat bangsawan Deli. Salah satunya adalah tokoh sastrawan terkenal, Amir Hamzah.Â
Itulah mengapa pasangan lain dalam Pilkada Sumut kali ini dgn sokongan PKS yang memilih mantan Pangkostrad serta Pangdam Bukit Barisan dan Ketua PSSI sebagai cagubnya berupaya merangkul keluarga Kesultanan Deli. Situasi inilah yang dimanfaatkan untuk mengkampanyekan bahwa yang bukan Batak adalah "produk impor". Mirip dengan nasib gereja misi yang dipioniri oleh Nomensen, hanya syukurlah melalui karya pendidikan dan kesehatan gereja misi masih dapat bertahan.
Hubungan sejarah inilah yg selalu disamarkan, bahkan disembunyikan, dalam bias Toba bukan Toba, Batak bukan Batak, dan merambah sampai ke bagian Barat dan Selatan Sumatera menjadi Melayu bukan Melayu. Bukankah Melayu yang diidentikkan dengan Muslim akan selalu dihadapkan dengan Budhis misalnya, yang di Palembang mengerucut pada polemik kisah asal-usul kerajaan Sriwijaya?!? Itulah yang sebenarnya berupaya dikisahkan Romo Mangun secara fiksi lewat berbagai novelnya yang salah satunya menyinggung tentang Mendut.Â
Di sinilah sesungguhnya dapat ditelusuri betapa sejarah konflik dan kekerasan yg mengikuti karya-karya gereja misi, baik di Jawa maupun Luar Jawa, bersumber pada kekuatan massa yang tak dapat dikontrol atau dibiarkan tanpa kendali. Massa yang di tanah Batak telah mengorbankan penyair kenamaan Amir Hamzah dan di tanah Jawa menghabisi nyawa Romo Richardus Kardis Sandjaja, Pr. dan Frater Herman A. Bouwens, S.J. Massa yang mengatasnamakan Revolusi 1945-1949 itu adalah "Djamino dan Djoliteng" yang tidak tahu apa-apa, tapi seolah-olah yakin bahwa aksi brutal dan kejinya adalah bagian dari membela/menjaga kemerdekaan RI.Â
Maka tak aneh jika hanya karena tidak fasih berbahasa Melayu/Indonesia banyak orang tak bersalah dibantai secara keji dan kejam serta mayatnya dibiarkan tergeletak di jalanan. Dan pelakunya adalah para laskar yang beberapa di antaranya masuk menjadi tentara RI dan sisanya terlibat dalam berbagai pemberontakan di daerah-daerah selama tahun 1950-an. PRRI/Permesta dan DI/TII adalah contoh dari para laskar yang tersingkir dan terbuang. Bahkan di zaman partai-partai baru terbentuk, mereka masuk dalam sayap-sayap organisasi pemuda yang menjadi penjaga keamanan dan ketertiban.Â
Di zaman ini negara serasa mangkir karena kebebasan, bahkan kegilaan, untuk merdeka dari kolonialisme tak terbendung lagi. Dan pemuda memegang peranan yang sedemikian sentral karena tak ada kekuatan apapun yang sanggup menandinginya. Masuk akal jika dalam berbagai pertempuran di masa Revolusi Kemerdekaan para pemuda tampil secara dominan, termasuk untuk mengorbankan nyawanya.
Sementara para orang tua yang lebih memilih jalan diplomasi dengan kehati-hatian yang selalu diklaim lebih rasional hanya mampu memberi berbagai pandangan intelektual sejauh ditanyakan oleh para pemuda. Di sinilah gereja misi agaknya hadir sebagai salah satu orang tua yang dianggap asing. Dalam artian, para misionaris dipandang sebagai "tuan" yang berkulit putih dan layak dihormati.Â
Dengan posisi itu, para pemuda, termasuk orang tua setempat, menjadi mudah curiga dan reaksioner terhadap segala yang berkaitan dengan aksi para misionaris. Syukurlah, berkat modernitas yang diusung melalui pendidikan dan pelayanan kesehatan, tak jarang mampu menyelamatkan gereja misi dari aksi-aksi spontan yang dikerjakan atas nama Revolusi Kemerdekaan.Â
Contohnya, untuk mengatasi berbagai penyakit yang sedang mewabah, obat-obatan modern dapat menjadi media yang efektif dan operatif, selain kuratif, dalam melancarkan jalan para misionaris ke berbagai pelosok. Itulah mengapa rumah sakit ("ziekenhuis") dipandang sebagai tempat yang disakralkan karena mampu berperan melampaui para dukun lokal. Begitu pula dengan sekolah-sekolah yang memberi kesempatan untuk bertemu dan bertegur sapa dengan siapapun yang sebelumnya tak terbayangkan.
Maka, adalah penting dan mendesak untuk mengkonstruk sejarah gereja misi yang tidak hanya menyusun data dan fakta, melainkan juga menafsirkannya agar dapat menjadi sebuah cerita yang mengguratkan suatu cita-cita.Â
Baik Nomensen maupun Van Lith misalnya, sama-sama mempunyai pintu yang mampu membuka sisi balik dari kisah pembentukan bangsa yang tengah membangun sebuah Republik yang dapat bernarasi fiksi ataupun non-fiksi tanpa perlu menjadi Historiografi Indonesia sentris.
Tulisan yang diambil dari facebook penulis dipersembahkan untuk sesama pejalan di Sumut, 1 - 4 Februari 2018.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H