Di sinilah sesungguhnya dapat ditelusuri betapa sejarah konflik dan kekerasan yg mengikuti karya-karya gereja misi, baik di Jawa maupun Luar Jawa, bersumber pada kekuatan massa yang tak dapat dikontrol atau dibiarkan tanpa kendali. Massa yang di tanah Batak telah mengorbankan penyair kenamaan Amir Hamzah dan di tanah Jawa menghabisi nyawa Romo Richardus Kardis Sandjaja, Pr. dan Frater Herman A. Bouwens, S.J. Massa yang mengatasnamakan Revolusi 1945-1949 itu adalah "Djamino dan Djoliteng" yang tidak tahu apa-apa, tapi seolah-olah yakin bahwa aksi brutal dan kejinya adalah bagian dari membela/menjaga kemerdekaan RI.Â
Maka tak aneh jika hanya karena tidak fasih berbahasa Melayu/Indonesia banyak orang tak bersalah dibantai secara keji dan kejam serta mayatnya dibiarkan tergeletak di jalanan. Dan pelakunya adalah para laskar yang beberapa di antaranya masuk menjadi tentara RI dan sisanya terlibat dalam berbagai pemberontakan di daerah-daerah selama tahun 1950-an. PRRI/Permesta dan DI/TII adalah contoh dari para laskar yang tersingkir dan terbuang. Bahkan di zaman partai-partai baru terbentuk, mereka masuk dalam sayap-sayap organisasi pemuda yang menjadi penjaga keamanan dan ketertiban.Â
Di zaman ini negara serasa mangkir karena kebebasan, bahkan kegilaan, untuk merdeka dari kolonialisme tak terbendung lagi. Dan pemuda memegang peranan yang sedemikian sentral karena tak ada kekuatan apapun yang sanggup menandinginya. Masuk akal jika dalam berbagai pertempuran di masa Revolusi Kemerdekaan para pemuda tampil secara dominan, termasuk untuk mengorbankan nyawanya.
Sementara para orang tua yang lebih memilih jalan diplomasi dengan kehati-hatian yang selalu diklaim lebih rasional hanya mampu memberi berbagai pandangan intelektual sejauh ditanyakan oleh para pemuda. Di sinilah gereja misi agaknya hadir sebagai salah satu orang tua yang dianggap asing. Dalam artian, para misionaris dipandang sebagai "tuan" yang berkulit putih dan layak dihormati.Â
Dengan posisi itu, para pemuda, termasuk orang tua setempat, menjadi mudah curiga dan reaksioner terhadap segala yang berkaitan dengan aksi para misionaris. Syukurlah, berkat modernitas yang diusung melalui pendidikan dan pelayanan kesehatan, tak jarang mampu menyelamatkan gereja misi dari aksi-aksi spontan yang dikerjakan atas nama Revolusi Kemerdekaan.Â
Contohnya, untuk mengatasi berbagai penyakit yang sedang mewabah, obat-obatan modern dapat menjadi media yang efektif dan operatif, selain kuratif, dalam melancarkan jalan para misionaris ke berbagai pelosok. Itulah mengapa rumah sakit ("ziekenhuis") dipandang sebagai tempat yang disakralkan karena mampu berperan melampaui para dukun lokal. Begitu pula dengan sekolah-sekolah yang memberi kesempatan untuk bertemu dan bertegur sapa dengan siapapun yang sebelumnya tak terbayangkan.
Maka, adalah penting dan mendesak untuk mengkonstruk sejarah gereja misi yang tidak hanya menyusun data dan fakta, melainkan juga menafsirkannya agar dapat menjadi sebuah cerita yang mengguratkan suatu cita-cita.Â
Baik Nomensen maupun Van Lith misalnya, sama-sama mempunyai pintu yang mampu membuka sisi balik dari kisah pembentukan bangsa yang tengah membangun sebuah Republik yang dapat bernarasi fiksi ataupun non-fiksi tanpa perlu menjadi Historiografi Indonesia sentris.
Tulisan yang diambil dari facebook penulis dipersembahkan untuk sesama pejalan di Sumut, 1 - 4 Februari 2018.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI