Mohon tunggu...
Win Sugiarti
Win Sugiarti Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

| English Dept - Sampoerna School of Education | Psychology Lover | Education Consultant wannabe | Reading, Befriending, Traveling, etc|

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Ketika Tahu Tempe Berhenti Beredar

3 Oktober 2013   12:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:03 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

9/10/2013 11:45:37 AM

Kesadaran bahwa diri ini hidup di sebuah sistem ternyata dapat muncul begitu saja tanpa dicari. Seperti yang saya temukan pagi ini. Setengah jam sebelum kuliah jam 8, saya keluar Pondokan Garuda yang sudah setahun lebih saya huni itu. Masih ada waktu untuk mengisi perut yang sudah berdemo ‘serangan fajar’.

"Gorengannya abis...", kata Mbak Sum, pemilik warteg, ketika saya hendak memesan sarapan.

Saya tersenyum saja, karena memang tak berniat makan gorengan. Namun ketika ada tetangga yang menanyakan gorengan, Mbak Sum memperjelas kalimatnya tadi.

"...gak ada tempe tahu goreng, pada mogok semua yang dagang... ini untuk untuk semur tahu dan orek, ada sisa stok di kulkas"

Ups! saya baru ngeh ada sesuatu yang terjadi. Sepulang dari kampus sore kemarin sebenarnya saya menyaksikan berita di berbagai stasiun TV yang mengabarkan tentang aksi mogoknya produsen dan pedagang tahu tempe karena harga kedelai melonjak tinggi. Jujur saja yang saya tonton saat itu cukup untuk mengetahui isunya saja. Miris melihat kekesalan dan kebingungan yang tergambar di wajah para pelestari makanan Indonesia itu, tambah lagi melihat tahu dibuang diinjak-injak, duh sayang banget, bikinnya gak gampang dan mubazir kan?

Begitu layar TV menayangkan teriak-teriakan dan ribut-ributan, seperti ketika menonton tayangan ribut-ribut lainnya, saya langsung pindah channel. Dalam hati terbersit rasa kasihan juga dengan para pengusaha makanan berprotein tinggi tersebut, juga para pekerjanya. Dan kasihan pula para konsumennya. Kasihan rakyat Indonesia. Sudah setelah itu, scene di pemikiran saya langsung terganti dengan hal-hal lain.

Dan selama 12 menit tadi, sambil menyantap nasi uduk lengkap dengan tumis bihun dan tahu semur (maafkan saya jika ada yang tak suka, masih ada yang menyantap tahu hari ini), saya menyadari satu hal. Sampai saat ini saya masih sering kurang peka terhadap fenomena sosial yang bergolak di sekitar saya. Padahal secara otomatis fenomena itu berpengaruh juga pada hidup saya atau orang-orang di sekitar saya. Sederhana saja, melonjaknya harga kedelai membuat produsen tahu tempe mogok berproduksi, berakibat pada ketiadaan makanan berbahan tahu tempe di warung-warung makan langganan para mahasiswa dan para pekerja, berkuranglah alternatif makanan murah dan bergizi untuk kita.

Sepertinya memang saya perlu lebih peka membaca kehidupan di sekitar saya, demi hati yang lebih manusiawi dan mampu berempati. Demi tempe tahu, demi makanan yang sehat dan merakyat, semoga semuanya segera lebih bersahabat. Harga kedelai yang lebih bersahabat, kabar-kabar tentang Indonesia yang bersahabat, dan tentu cara merespon kondisi sulit yang bersahabat.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun