[caption id="attachment_132240" align="aligncenter" width="367" caption="Toronto International Film Festival, 8-18 September 2011"][/caption]
Sebagaimana tulisan sebelumnya "Laporan Langsung dari Ajang Toronto Internasional Film Festival (TIFF) 2011", TIFF 2011 baru saja usai dan tiga wakil Indonesia dalam ajang festival ini, Gareth Huw Evans, Iko Uwais, dan Joe Taslim pun mungkin belum mendarat di Jakarta. Karena itu para pungawa film "The Raid" bisa jadi belum mendengar kabar mengejutkan ini.
Walau TIFF bukan merupakan ajang kompetesi, tetapi panitia menyediakan tiga penghargaan yang didasarkan pilihan para penonton {People's Choice award) untuk tiga kategori yakni "Midnight Madness", "Reel to reel documentary" dan penghargaan secara umum. Satu yang membanggakan adalah "The Raid" memenangkan Midnight Madness ("The Raid wins TIFF Midnight Madness Award!"), sementara untuk kategori dokumenter dimenangkan oleh "The Island President" dan kategori umum "Where Do We Go Now?.
Midnight Madness merupakan kategori unik yang diberikan kepada film yang ceritanya menonjolkan sisi "kegilaan" (madness). Keberhasilan "The Raid" berarti mengalahkan "Lovely Molly" yang juga diputar dalam Midnight Madness, hasil besutan Eduardo Sánchez, seorang sutradara dunia yang sebelumnya terkenal dengan karya "The Blair Witch Project" (1999).
Hak cipta photo pada KJRI Toronto, dilarang mengutip
[caption id="attachment_132242" align="aligncenter" width="562" caption="Pertemuan para tokoh The Raid dengan masyarakat Indonesia di KJRI Toronto"][/caption]
Kejutan lain
Namun kejutan tidak berhenti sampai disitu, saat penutupan TIFF 2011 juga diumumkan urutan hasil penjualan film pada tingkatan bisnis antara distributor, dan "The Raid" menempat satu dari empat yang tertinggi.
Metronews sebuah harian besar di Toronto menuliskan bahwa film ini digemari sejak awal festival dimulai yang dengan segera dibeli hak peredarannya oleh Sony Pictures (khusus untuk Kanada dilakukan oleh Alliance Films). Mike Shinoda, personil dari Linkin Park sebuah band Rock Hip-Hop dunia, akan menyiapkan musik pendamping yang baru bagi film ini. Hal yang sama juga disampaikan oleh "Hollywood News" yang memberikan judul artikel " Shame,” “The Raid” lead list of TIFF 2011 film sales ".
Walau mungkin hal di atas telah diketahui banyak orang sebelumnya, atau bahkan telah menjadi strategi dagang antara sutradara, produser dan Sony Pictures di mana pembicaraan telah dilakukan sebelum mereka mendarat di Toronto, namun hal ini tetaplah membanggakan.
Semua menjadi modal awal bagi “The Raid” untuk masuk kancah perederan film internasional, yang selanjutnya diharapkan dapat menjadi pendorong bagi perfiliman Indonesia untuk maju. Diharapkan para sutradara dan produser lainnya dapat meniru strategi yang dilakukan “The Raid” untuk menerobos pasar internasional. Tetapi juga diharapkan para pengekor tersebut tidak sekedar copy cat yang meniru mentah-mentah tanpa kreasi baru, sesuatu yang disayangkan ketika “Jelangkung” (2001) menjadi film horror yang sukses, lalu diikuti dengan berbagai film horror lainnya hingga akhirnya kini melewati batas.
Peran Pemerintah dalam mensubsidi film nasional
Di sisi lain, Pemerintah juga harus menyiapkan suatu skema subsidi bagi dunia perfiliman nasional, karena belajar dari “mogoknya” impor film MPAA dua bulan lalu, adalah karena tidak adilnya sistem perpajakan antara barang impor vs. barang lokal. Tanpa skema subsidi yang memadai tidaklah mungkin sebuah film lokal akan dapat mengalahkan film jaringan MPAA yang untuk pembuatan sebuah film saja dapat memakan biaya hingga US$150 juta (lebih dari Rp 1 triliun).
Tanpa skema subsidi atau penerapan pajak yang tepat, maka harga tiket film impor akan selalu sama dengan tiket film nasional, yang pada giliriannya mendorong orang hanya menonton film yang berbudget besar. Pada akhirnya, film nasional pun akan mati di tanah sendiri.
Namun demikian, apa yang telah ditunjukan oleh “The Raid” menjadi darah baru bagi bangkitnya perfiliman nasional. Majunya perfiliman nasional akan menjadi salah satu jalan dalam memperkenalkan pluralitas budaya Indonesia, yang terdiri dari berbagai macam suku, bangsa, ras dan agama, sehingga orang luar akan melihat Indonesia sebagai negara yang terbuka. Diharapkan ini akan berujung pada peningkatkan sektor lainnya, seperti ekonomi, perdagangan dan pariwisata (winbert).
*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H