Petani Kopi Gayo Berdaulat di Tanah Sendiri
Petani kopi gayo adalah orang yang paling berdaulat atas tanahnya. Mereka bebas berkebun, menanam dan memungut hasilnya tanpa harus dibebani berbagai peraturan dan pajak.
Berbeda dengan Pinus mercusi alias Uyem yang lahan dan hasilnya, milik negara yang kini diekploitasi dan dinikmati hasilnya pengusaha yang kaya raya di Jakarta.
Dijelaskan Zulfikar, dalam catatan  asisten residen K.TH.Beets,seorang petani Erofa Venehuyzeen pada tahun 1921 mulai membudidayakan tanaman hortikultura di Paya Tumpi.
Sukses dengan tanaman sayuran ini , pada tahun 1924 , Veenhyuzen mulai mengembangkan tanaman perkebunan sepeti jeruk yang bibitnya berasal dari Jawa Barat. Jeruk ini kemudian terkenal dengan sebutan Keprok Gayo yang kini sudah dilindungi denga Indikasi Geografis ( IG).
Selain Keprok Gayo, Veenhyuzen juga mencoba menanam kopi. Keberhasilan petani Erofa itu mengembangkan kopi mendapat perhatian penduduk Gayo dan telah memunculkan pemukiman baru yang berkembang.
Kemudian muncullah perusahaan kopi Belanda di Dataran Tinggi Gayo. Salah satu produsen kopi itu diberi nama Wilhelmina di Jamur Barat. Burni Bius Kecamatan Silih Nara.Kemudian sebuah perusahaan kopi lainnya di Bandar Lampahan cultuurmaatschappij Takengon yang didirikan tahun 1931 dan menguasai lahan 33 ribu hektar.
Maraknya produksi kopi gayo ini telah membuat Belanda menyediakan outlet kopi gayo diluar daerah. Salah satunya di Sumatra Utara dengan brand Jamur Barat.
Kemudian seorang Belanda bernama K.TH.Beets mengajukan anggaran pembukaan lahan kopi milik Belanda. Permohonan ini ditolak Dr.Rugrets, seorang ahli botani yang menyatakan, tidak layak usaha perkebunan kopi dalam  skala besar.
Kebijakan yang diambil oleh atasan  Beets berdasarkan hasil analisa Rugrets berdampak luas hingga kini bagi petani kopi gayo.
"Bisa dibayangkan jika usulan Beets menjadikan perkebunan kopi gayo milik pemerintah Belanda?. Tentu semua kebun itu kini akan menjadi milik pemerintah. Seperti Pinus mercusi", ungkap Zulfikar.
Itulah sebabnya hingga kini 90 persen lahan kopi di Aceh Tengah dan Bener Meriah milik perseorangan atau milik rakyat gayo.