Sebuku bermakna Tangisan menyayat hati. Biasanya, Sebuku dari seorang ibu terjadi saat anak gadisnya menikah. Atau suaminya meninggal dunia.
Dalam Sebuku, kesedihan diurai dalam rangkaian kata kata disertai tangisan. Setiap kata yang terucap membuat siapapun yang mendengar Sebuku, bisa menangis. Kisah sedih dalam tangis.
Lantas kenapa Kopi Gayo bersebuku?
...
Telepon berdering. Sebuah panggilan datang dari Bang Zaini Wen. Pakar kopi Gayo yang kini sedang dimintai keahliannya untuk sebuah proyek penanaman kopi seputar Danau Toba.
Penanaman kopi di areal Danau Toba untuk lahan 200 hektar. Di tahap awal. Selama beberapa hari di sana, Bang Zaini melakukan survei. Mengenali lingkungan ekosistim seputar Danau.
"Kapan Abang pulang. Kemarin masih di Danau Toba", kataku. Kamipun mengobrol di WRB Cafe Shop, di tengah Kota Takengon.
Di dataran tinggi Gayo Bang Zaini dikenal sebagai praktisi kopi. Kepakarannya soal kopi Gayo terasah karena pengalaman langsung.
Di lahan kebunnya di Blang Gele Kecamatan Bebesen,yang juga rumah kediamannya. Bang Zaini melakukan riset dan penelitian ilmiah . Bersama para pelajar dan mahasiswa . Dari antero Aceh dan Sumatra.
Selain di Gayo, bang Zaini juga sering dimintai keahliannya untuk pengembangan kopi di Sumatra Utara. Seperti sentra kopi di Tanah Karo dan kawasan khusus seputar Danau Toba.
Dari pengalaman berinteraksi dengan petani dan kopi, bang Zaini menilai banyak petani kopi yang tidak menguasai ilmu bertani kopi.
Kebanyakan petani kopi berilmu ikut ikutan, keturunan dan tradisional. Artinya, kebun kopi belum bisa mensejahterakan petani.
Padahal potensi kopi berbuah sangat banyak dan mampu mensejahterakan. Namun para petani belum bertani menggunakan "Perasaan". Baru menggunakan akal saja.
Ini berpotensi merusak tanah dengan efek racun herbisida. Selain merusak tanah, juga zat kimia herbisida, residunya menjadi racun pada biji kopi.
Kopi diekploitaai besar besaran tanpa memikirkan bagaimana kopi bisa bertahan menghadapi perubahan iklim.
Buah kopi diambil,tapi hasil panen semuanya untuk kebutuhan petani. Tidak ada yang dikembalikan untuk pupuk, perawatan dan zakat atau sedekah.
Dari banyak diskusi dan penyuluhan kopi Gayo dengan masyarakat, bang Zain banyak melihat petani terbiasa menggunakan herbisida.
"Jika sudah ada sedikit gulma, langsung disemprot herbisida. Herbisida sudah menjadi kebiasaan yang salah", tegas bang Zaini.
Hal ini membuatnya sangat kuatir terhadap kelestarian kopi akibat penggunaan kimia yang berlebihan pada tanah dan kopi.
Hingga pada suatu ketika, saat berada di tengah kebun kopi. Bang Zaini seperti dibisiki kopi.
"Mendekatlah kepadaku wahai Zaini. Akan kubisikan padamu tentangku.
Buahku sudah mensejahterakan dan membiayai kalian. Mulai kebutuhan dapurmu. Membuat rumah, turun mandi, sekolah. Menikah hingga kalian naik haji.
Membeli mobil, liburan dan bersenang senang. Semua kebutuhan kalian kami penuhi. Meski kalian bukan pegawai.
Semua kebutuhan hidup kalian dari buah kami.
Tapi, lihatlah perlakuan kalian pada kami!. Meracuni kami. Bahkan kulit buah kamipun tak kalian kembalikan pada kami. Semuanya kalian jual..
Apa salah kami pada kalian?
Tak ada hasil panen yang kalian kembalikan pada kami. Bahkan kalian tak mau berbagi dengan mereka yang kurang beruntung .
Tak ada kasih sayang kalian pada kami.
Jika terus begitu dan tetap meracuni kami. Ingatlah wahai Zaini, kami tidak lagi mengeluarkan buah pada kalian. Selama 20-30 tahun. Sampai kalian merubah sikap dan perlakuan pada kami. Berpikirlah dengan perasaan. Bukan hanya dengan akal.....".
Bang Zaini tak mampu menahan air matanya. Air bening itu, keluar dari kelopak matanya.
Sebuku Kopi Gayo dirasakan bang Zaini setelah melihat perilaku petani yang mengekploitasi kopi tanpa perasaan. Kopi bukan saja tanaman.
Kopi adalah mahluk hidup yang punya perasaan dan sikap. Bertani kopi perlu hati.
Bertani dengan perasaan akan mampu melihat kebutuhan kopi. Memberi pupuk organik, merawat dan membelai kopi akan menimbulkan interaksi positif.
Keterikatan psikologis sehingga bisa memahami perkembangan kopi secara ilmiah. Bukan saja mengekplotaitasi.
Buah kopi akan maksimal keluarkan potensinya. Kualitas dan kuantitas. Sebagian hasil panen dikembalikan lagi ke kebun
Sebagian yang lain diberikan pada yang tidak mampu. Karena tidak semua rezeki milik kita. Sebagai besar lainnya untuk kebutuhan petani.
Itulah konsep bertani berkelanjutan yang dipahami Zaini dari pengalamannya. Mahalnya pupuk kimia saat ini, bisa disiasati dengan pupuk organik dari kulit buah kopi.
Karena bertani kopi harus mengunakan akal dan perasaan. Ekplorasi kopi berlebihan dengan bahan kimia akan menimbulkan efek merugikan.
Rusaknya tanah dan lingkungan akan membuat kopi terancam tidak berbuah hingga 20-30 tahun ke depan seiring perubahan iklim yang ekstrim. Mau?
Tugu kopi Gayo di rumah dan kebun Zaini Wen, Blang Gele Kecamatan Bebesen, Gayo. Foto koleksi pribadi Wrb.
Win Ruhdi BathinWrb Cafe Shop Blang Kolak 230 November 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H