Apa ukuran moralitas seseorang? Dalam masyarakat kita, ukuran moral sering menggunakan nilai-nilai agama dan adat istiadat. Pertanyaannya adalah bisakah keduanya dipergunakan sebagai instrument yang tepat untuk mengukur moralitas orang lain?
Agama dan adat isitiadat adalah bentukan manusia. Keduanya sebenarnya tidak memiliki nilai yang esensial karena keduanya tercipta dari proses-proses pembentukan pikiran-pikiran manusia yang berlangsung terus menerus. Artinya baik agama maupun adat istiadat adalah bentukan hasil berpikir manusia. Hanya karena proses pembentukannya yang berlangsung lama dan terus menerus sehingga menjadi seolah-olah keduanya adalah natural.
Agama misalnya selalu disebutkan sebagai sabda langsung dari Tuhan. Padahal tak satupun manusia di muka bumi ini benar-benar pernah melihat Tuhan dengan mata Kepalanya sendiri. Tak pernah ada benar-benar manusia berbicara face to face dengan Tuhan. Jika benar ada manusia pernah melihat Tuhan, maka pertanyaannya adalah apakah Tuhan itu laki-laki atau perempuan? Namun jawaban atas pertanyaan ini bagi kaum agamawan tertentu akan dikatakan bahwa Tuhan itu pastilah laki-laki. Ya, jawaban ini juga bisa menjadi bagian dari pembentukan soal narasi mengenai agama yang dominan di lakukan oleh laki-laki. Bukankah hampir sebagian besar penerima wahyu tuhan dari semua agama adalah laki-laki?
Demikian pula dengan adat istiadat yang merupakan hasil dari pembentukan pemikiran manusia yang hidup berkelompok. Adat istiadat adalah hasil dari kesepatakan bersama baik dengan cara-cara damai maupun dipaksakan. Jika agama itu sangat beragam, maka adat istiadat jauh lebih beragam lagi. Hampir setiap manusia yang hidup berkelompok punya adat istiadat yang berbeda-beda. Sangat sering adat istiadat satu bertentangan dengan adat istiadat lainnya.
Menyadari agama dan adat istiadat itu adalah hanya bentukan belaka dan tak punya nilai esensial, maka tentu menjadi sangat rapuh jika ukuran moralitas seseorang ditentukan dari ukuran-ukuran agama maupun adat istiadat. Namun perkembangan arus informasi yang menyebar cepat dan kuat terutama dari kekuatan-kekuatan yang lebih besar, membawa narasi-narasi besar yang kemudian seolah-olah menjadi acuan umum mengenai soal-soal moralitas. Agama dan adat istiadat dari kelompok-kelompok dominan “memaksakan” pembentukan-pembentukan standar soal moralitas. Agama dan adat istiadat kelompok dominan ini, memposisikan agama dan adat istiadat minoritas sebagai sesuatu yang salah sehingga harus disesuaikan. Bahwa hanya ada satu Tuhan dan itu adalah tuhan dari kelompok agama yang dominan.
Kelompok agama dan adat istiadat yang dominan membangun narasi-narasi besar dan lebih jauh lagi menetapkan soal-soal yang salah dan benar, yang pantas dan tidak pantas. Ironisnya yang sering terjadi adalah pendangkalan pada soal pemaknaan soal moralitas yang hanya sebatas penampilan saja. Moralitas ditentukan dari hal-hal yang bersifat artfisial, penampilan fisik belaka.
Lalu, jika bukan agama dan adat istiadat, apa yang menjadi standar dari moralitas?. Ini pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab karena moralitas itu dibentuk dari pertarungan antar narasi kebudayaan dan agama. Namun ada yang beragumentasi bahwa moralitas itu ditentukan dari kebajikan, dari suara hati manusia yang paling dalam. Bahwa dalam setiap jiwa manusia bersemayam kekuatan tuhan, kekuatan yang dipenuhi oleh rasa cinta dan kasih sayang. Banyak yang menyebutnya sebagai kemanusiaan. Maka moralitas sesungguhnya ada pada seberapa besar rasa kemanusiaan yang ditunjukkan oleh seorang indvidu.
Moralitas adalah kesediaan untuk berkorban demi kehidupan umat manusia, kesediaan untuk menghidupi kehidupan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H