Mohon tunggu...
Winarto SPd
Winarto SPd Mohon Tunggu... Guru - Guru Bahasa Indonesia

Ruang Tuang Rasa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Shelomita Berkalung Nestapa

16 Juli 2024   15:17 Diperbarui: 16 Juli 2024   15:22 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ash-shalaatu was-salaamu 'alaaik" tarhim subuh saling bersaut di toa-toa masjid. Santriwati berderet antri di muka pintu pojok pondok.

Biasanya aku selalu semangat membangkitkan badan untuk menyambut sang fajar. Tetapi hari ini sangat jauh berbeda, air mataku yang terus mengalir melemahkan sendi-sendi tubuhku untuk beranjak dari ranjang. 

Teringat kemarin sore jadwal besuk orang tua para santriwati begitu bahagia, dipeluk, dicium, bahkan beraneka buah tangan mereka terima. Mataku mulai liar menengok segala penjuru pondok, berharap ibu dan bapakku menjenguk.

"Lho dek, kok lesu disini. Orang tua tidak datang?" Tanya Kang pondok penjaga gerbang perbatasan santri laki-laki dan perempuan.

"Mboten Kang" sambil tertunduk jawab lirihku.

Otak ku kembali berputar, anganku mulai menari. Sadar betul, dari umur 6 tahun seorang gadis kecil bernama Shelomita harus terbuang. Timang kasih sayang orang tua telah sirna. Bapakku sibuk dengan selir-selirnya. Ibuku keluar dari rumah entah kemana. Pondok pesantren menjadi rumahku untuk melangsungkan hidup.

"Nduk, Urip kuwi akeh pacobane. Bapak nduweni keyakinan, yen awakmu kuat nandang kahanan, kamulyan bakal awakmu tompo" pesan Kyai Ismail 11 tahun lalu saat aku diterima di pondok.

Puluhan ikat ranting pohon menguatkan bahuku, membersihkan seluruh sudut rumah menjadi tempat fitness ku, tamparan kuat tiap saat mendewasakan ku. Keras betul bapak ku mendidik. Aku bagaikan robot kecil yang dibeli dari pasar loak, dijadikan pembantu, dikekang, dihajar menjadi makanan setiap hari-hari ku.

"Ibu, aku ingin ikut denganmu. Ibu, seperti apa parasmu. Ibu, masihkah ada surga di telapak kakimu" begitu ungkapan-ungkapan dalam tangis yang meramu di otakku.

Sejak 3 tahun, ibuku pamit keluar sebentar. Tetapi apa, sampai umurku 17 tahun, ibuku tidak pernah pulang. Inikah arti sebentar dari perpisahan?

"Mbak, 3 hari lagi Haflah Akhirussanah. Setelah ini mbak hendak pulang, apa melanjutkan kuliah?" Tanya adik santri satu kamarku, yang aku anggap seperti adikku.

"Durung ngerti dek, mbak paling ngabdi ndalem Pak Yai. Bantu-bantu Bu Nyai" jawab penuh bimbangku. Bagaimana aku mau pulang, rumahku sudah hilang hanya wujud bangunan yang nampak isinya telah kosong tidak memiliki peran.

"Oh nggeh mpun mbak, mangke saget ngancani adik di pondok terus" jawab semangat adik santri ku.

Sebenarnya aku ingin hidup layaknya anak-anak lain nya. Timang kasih sayang selalu mengiringi langkahnya. Tetapi apa,  rumah menjadi nerakaku di dunia.

Surat Al Ahqaf ayat 15 selalu menegurku untuk tetap tawadhu dengan ibu dan bapak ku.

Sepotong surat untuk ibu selalu aku tuliskan, toples-toples bekas jajanan, dan deburan ombak aku jadikan tempat berkirim surat. Segala hormat aku lakukan untuk bapakku. Walaupun dengan kerasnya pukulan yang dia bayar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun