Mohon tunggu...
Winarto SPd
Winarto SPd Mohon Tunggu... Guru - Guru Bahasa Indonesia

Ruang Tuang Rasa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Maeswati Bertemu Ajal dalam Pangkuan

4 Juli 2024   07:00 Diperbarui: 7 Juli 2024   07:07 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Laki-laki paruh baya dengan lirih berucap kesaksian, "Aku tidak tau menahu tentang sebab darah di punggung kepala maeswati yang berserakan. Hanya karena sebilah bendo yang aku pegang kalian menuduhku?"

Aku sama seperti kalian, lahir dengan nyawa titipan. Bedanya kalian pernah mencicipi nikmatnya hidup di kasultanan, mahir berbicara dengan urat leher kencang, bahasa ndakik-ndakik kalian kuasai. Alih-alih melukai, nyamuk mencicipi darahku tiap malam tanpa permisi saja tak tega ku beri pukulan.

Sore itu di ujung barat langit tampak merah keemasan, ayam-ayam bertandang ke kandang dengan tothok kencang apalagi kalau tidak kenyang. Aku hanya butuh secuil kayu bakar, surup-surup menelisik tepi hutan demi wedang jahe panas nanti malam. Pertengahan perjalanan ceceran darah tampak di jalanan, pojok arah jam sembilan dengan lirih ku dengar rintihan, Aku memberanikan diri menjumpai.

Belo setinggi pinggang jika berdiri, terterungkup merintih kesakitan. Iya, benar itu belo si putih anak kuda kesayangan pangeran.

Ingat betul, tiga hari yang lalu aku diundang ke kasultanan mengambil beras bantuan yang dikumpulkan dari upeti-upeti pemilik lahan. Sisi timur pendopo tamu ada pagar kayu dengan pola ukiran yang ditopang bata merah, dibaliknya ada rumah kandang soko wolu yang dihuni lima kuda milik sultan. Pangeran anak tunggal sultan sedang asik bercengkrama dengan maeswati belo anak kuda perempuan satu-satunya di kandang itu yang lahir tempo hari.

Maeswati aku baringkan diantara rimbunnya semak, kepala nya aku sandarkan di pangkuan, hanya dengan kaos yang ku kenakan luka di lehernya ku balut. Saat itu aku kalut, suaraku tak keras lagi, lari ku tak kencang lagi, bagaimana aku bisa meminta pertolongan?

Langit mulai gelap, semburat merah keemasan mulai hilang, adzan di toa-toa langgar mulai dikumandangkan. "Mati ini, Mati" hatiku bergeming, Maeswati sudah tidak mengeluarkan suara lagi, nafasnya mulai tak beraturan, air mata nya keluar seperti menyampaikan salam perpisahan. "Maaf, Maafkan aku maeswati. Hadirku tak banyak memberimu arti" lirih betul bisikku di telinganya, segala pasrah aku berserah berharap maeswati memberi maaf dan menunda kepulangannya.

Tiga menit berlalu, Maeswati dengan lesu menatapku. Aku menerka ada kata yang ingin disampaikan untuk berpamitan. Benar saja, matanya mulai terpejam helaan nafasnya mulai berhenti. "Byurrr" air panas berpuluh-puluh derajat serasa menyiramku. Pertolongan macam apa ini? Lariku di salip takdir ajal maeswati.

Aku terpaku, tertunduk lemas tak menghiraukan lagi dengan kayu bakar yang aku butuhkan. Harusnya disisa umurku yang tak mungkin panjang, aku bisa memberikan manfaat bagi sesama makhluk di dunia. Tetapi apa? Yang jelas membutuhkan pertolongan dengan luka yang menganga tidak bisa aku selamatkan. Macam apa aku ini?

Sepuluh menit berselang gesekan sandal di selatan tampak ku dengar. Ada tiga oncor goyang-goyang seirama kaki berjalan. "Maeswatiiii, Pulang Maeswatiii" suara kencang mulai terdengar. Tiga orang pengawal sultan tampaknya mencari keberadaan maeswati, belo putih kesayangan pangeran.

Celaka nya, Maeswati kini tak hidup lagi. Ruhnya sudah dalam perjalanan menemui sang pemilik kehidupan, hanya jasadnya yang tertidur lemas di pangkuanku. "Hei, Kau apakan maeswati?" suara pengawal dengan ujung telunjuk lurus menghadapku. Aku sudah tak bergeming lagi, mau bagaimana badanku penuh darah maeswati, sisi kiri ku ada sebilah bendo yang jelas milikku.

Aku terus tertunduk dan terdiam, berharap alam menolongku dengan kesaksian.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun