Hukuman terhadap Koptu Rusfandi dan Kapten Saliman, tidak cukup. Publik masih tidak percaya, sang Koptu bergerak atas inisiatif sendiri mendatangi warga mendata preferensi warga di Pilpres. Apalagi, seorang warga Gambir mengakui, sang Koptu mengarahkannya pada Capres-Cawapres nomor urut 1, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
Bukti dari ketidakpercayaan itu antara lain ditunjukkan oleh Koalisi Masyarakat Sipil. Mereka meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membekukan Babinsa, untuk menetralisir kabar Babinsa Pilpres itu.
"Ada kecurigaan terhadap Presiden SBY dengan politik ganda. SBY menjelaskan TNI netral di belakang publik, SBY justru memerintahkan TNI tidak netral dan memilih salah satu capres untuk mengamankan dirinya ketika beliau turun," kata Direktur Imparsial Al Araf di kantor Kontras, Jakarta, Minggu (8/6).
Menurut Al Araf, informasi mobilisasi Babinsa tidak hanya terjadi di Jakarta tapi juga di wilayah lain. "Ada kegagalan SBY dalam mengontrol TNI karena terjadi mobilisasi." Ada informasi kasus yang sama terjadi di Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, tetapi ini sudah dibantah pihak Kodim setempat.
Musni Umar dalam tulisannya di Kompasiana, setelah membaca berita di Kompas.com, Kamis (5/6), mengatakan, Babinsa tidak netral itu harus diusut tuntas. Berdasarkan pengalaman Sociologist and Researcher, Ph.D in Sociology, National University of Malaysia (UKM) itu, sewaktu aktif di Golkar akhir rezim Orde Baru, Babinsa itu tidak berdiri sendiri. Ia menuding, anggota Babinsa itu mendatangi rumah-rumah rakyat untuk mengarahkan warga memilih Prabowo berdasarkan perintah atasannya.
Kubu Prabowo-Hatta sudah membantah itu. Prabowo yang sudah tak aktif lagi di kemiliteran, dipastikan tidak mempunyai jalur komando lagi di TNI. Selain itu, tidak ada jaminan Babinsa atau jajaran TNI bakal menuruti perintah Prabowo, kalau benar ada, untuk memenangkannya.
Argumen kubu Prabowo-Hatta itu ada benarnya. Karena itu, harus ada penelitian menyeluruh, atau pembekuan sementara Babinsa, seperti diusulkan Al Araf itu, setidaknya sampai Pilpres 2014 selesai, untuk memastikan netralitas TNI tersebut.
Jika masalah ini tidak tuntas, bisa berdampak pada legitimasi Pilpres 2014, terutama jika pasangan Prabowo-Hatta memenangkan pertarungan. Rasanya, kita perlu menunggu tindakan Presiden SBY sebagai Panglima Tinggi TNI untuk menuntaskannya, setelah keterangan Jenderal Moeldoko dan Jenderal Budiman, tidak berhasil menenteramkan publik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H