Alasan konyol dan memalukan berikutnya, penundaan pelantikan bisa dilakukan, karena menurut Alamsyah, KPU, Jokowi, Jusuf Kalla, dan KPU DKI Jakarta masih berstatus tergugat dalam perkara perdata nomor 387/PDT/i2014/PN.JKT.PST di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Bagi pakar hukum tata negara Refly Harun, pelantikan presiden dan wakil presiden, persoalan besar. Karena, tak hanya menyangkut ketatanegaraan tapi juga hajat hidup orang banyak. Ia menilai tak masuk akal bila ketua KPU dipolisikan menjadi alasan penundaan pelantikan Jokowi sebagai presiden terpilih. "Apa kaitannya KPU dengan pelantikan Jokowi?"
Pelantikan Jokowi sebagai presiden memang bekerjasama dengan KPU, tapi mempermasalahkan ketua KPU yang masih diperkarakan di polisi dan dihubungkan dengan pelantikan, jelas bukan persoalan substantif. Jika ada hubungannya dengan KPU, pekerjaan masih bisa ditangani oleh sekretaris jenderal.
Bagi Refly, kalaupun komisioner KPU dipidanakan, itu juga tidak ada hubungannya dengan pelantikan presiden. Lalu terkait alasan penundaan pelantikan karena pencapresan Jokowi belum mendapatkan izin DPRD, juga tidak substantif. Izin DPRD terkait pencopotan jabatan Jokowi sebagai gubernur sebagai etika kesopanan semata, intinya Jokowi harus pamit.
Tetapi, DPRD tidak berhak menghalangi Jokowi mengundurkan diri dari jabatan gubernur. Karena, setiap orang berhak mengundurkan diri sebagai pejabat publik. Kalau dilarang, kata Refly Harun, bakal terjadi rangkap jabatan. Bayangkan Presiden dan Gubernur DKI Joko Widodo.
Satu hal, terpilihnya Jokowi sebagai presiden sudah berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi. Seperti kita tahu, keputusan kemenangan Jokowi-JK melalui MK, tidak bisa diubah lagi. Karena, putusan MK bersifat final dan mengikat.
Pesan penting dari Refly Harun, usulan menunda pelantikan presiden dan wakilnya, jelas upaya-upaya delegitimasi yang tidak elok dan tidak mendidik dari mereka yang kecewa. Jadi, sebelum Prabowo Subianto-Hatta Rajasa mempermalukan diri dan martabatnya, perintahkanlah Alamsyah Hanafiah dan Fraksi Gerindra di DPR untuk menghentikan cara-cara konyol dan memalukan itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H