Salah satu poin yang hendak disampaikan Jokowi kepada SBY, Rabu malam itu, meminta SBY berkomunikasi dengan Megawati. Pramono mengatakan, Megawati berkenan berkomunikasi melalui telefon. Namun, sambung Pramono, empat orang yang diutus Megawati tersebut tidak bisa bertemu SBY. Upaya melalui Menko Polhukam Djoko Suyanto, Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi juga dicoba, tetapi tak ada hasil.
"Ibu sebenarnya bersedia bertemu SBY. Saya koordinasi dengan Menko Polhukam, Djoko Suyanto. Rencananya kalau pertemuan itu berjalan lancar mungkin besok pagi (Kamis) sudah ada pertemuan Bu Mega dengan Pak SBY. Tetapi, baik Pak Jokowi, JK, Mbak Puan dan SP tidak bisa berkomunikasi dengan SBY. Kita tidak tahu, apakah ada yang menutup komunikasi kami ini atau bagaimana," ujar Pramono di Gedung DPR RI, Kamis (2/10).
Mungkin saja benar sinyalemen Pramono dan PDIP, soal ada yang menutup jalur komunikasi Mega-SBY, karena khawatir terjadi perubahan politik, yang akan merugikan kepentingan Koalisi Merah Putih. Tetapi, sangat mungkin juga SBY memang sudah menutup pintu.
Sebagai manusia biasa. Apalagi, masih Presiden RI (2004-1014), Ketua Umum Partai Demokrat, SBY mungkin saja kecewa pada Mega. Kita tahu, sudah berkali-kali secara terbuka pensiunan jenderal berbintang empat itu, mengungkapkan keinginannya bertemu dan berkomunikasi dengan Megawati. Tetapi, tidak pernah ada respon memadai dari Mega dan PDIP.
Masih mentah
Sekarang, sekali lagi, semuanya sudah terlambat untuk menggaet Partai Demokrat berkoalisi di parlemen. Heri Budianto mengatakan, Demokrat sudah menunjukkan sikap ke Koalisi Merah Putih. Sepertinya, pintu hati Demokrat, terutama SBY sudah tertutup untuk Mega dan otomatis Koalisi Indonesia Hebat.
Seperti Heri, Direktur Eksekutif Charta Politica, Yunarto Wijaya mengatakan, sebagai partai penguasa, PDIP dan parpol pendukung, wajib mengubah gaya politik. Sejauh yang terbaca, komunikasi politik PDIP di parlemen masih mentah. Termasuk Mega yang dinilai tetap kaku. "Jangan sampai gaya PDIP ini menjadi beban bagi Jokowi-JK nantinya," ujar Yunarto Wijaya kepada pers, Jumat (26/9).
Jauh sebelumnya, Kompas.com, Rabu, 6 November 2013, sudah menurunkan berita tentang kakunya gaya politik Megawati Soekarnoputri sebagai pemimpin partai. Itu berdasarkan statemen pengamat komunikasi politik dari Universitas Indonesia, Prof Tjipta Lesmana.
Tjipta menyampaikan hasil penelitiannya bersama Lembaga Demokrasi Bertanggung Jawab, mengenai politisi yang memiliki komunikasi politik baik. Ia meneliti 11 nama politisi yang sering masuk berbagai survei calon presiden sejumlah lembaga survei. Hasilnya, Joko Widodo di posisi teratas sebagai politisi dengan gaya komunikasi politik sangat baik.
Sebaliknya, Mega dan juga Prabowo, tergolong buruk komunikasi politiknya. Tjipta menyebutkan, kemampuan komunikasi politik Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri dan Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto, paling buruk dibandingkan tokoh politik lain, yang berpeluang menjadi Capres 2014.
Khusus untuk Megawati, Tjipta menjelaskan, komunikasinya sering dilakukan dengan konteks tinggi dan berpeluang membuat jarak. Akibatnya, sulit dimengerti. Selain itu, dalam penilaian Tjipta, Megawati juga jarang berbicara mengenai solusi. "Komunikasi politik Mega sangat jelek. Mega ditanya sering senyum-senyum saja. Sangat high context dan jarang memberikan solusi."