Rabu pagi di Bonnefantenstraat 2
Sepuluh menit sebelum kelas di mulai. Student Service Building masih tertutup. Aku dan beberapa kawan fellow dari Indonesia, India dan Guatemala akan sering keluar masuk gedung tersebut untuk mengikuti program Pre Academic Training di Maastricht University.Pada awalnya aku heran mengapa jam 8.20 gedung tersebut belum terbuka. Aku lantas teringat apabila jam kerja kantor di Belanda ialah jam 09.00. Karena kuliah dimulai jam 08.30, aku dan teman-teman harus menunggu di depan gedung sampai ada seseorang yang membuka pintunya.
Aku duduk di tepi jalan sambil memandang bangunan-bangunan kuno yang ada di sekitar. Walaupun terlihat kuno, bangunan di Maastricht masih sangat kuat dan sudah dilengkapi dengan fasilitas yang modern. Sebagai contohnya ialah Student Service Building di Bonnefantenstraat 2 yang dibangun pada tahun 1710 ini. Bangunannya masih sangat kokoh. Pada bagian dalamnya sudah direnovasi dan dilengkapi dengan fasilitas yang pasti sangat jauh berbeda saat gedung ini dibangun.
Mataku juga tidak bisa terhindar dari sepeda kayuh yang lalu lalang. Sambil duduk dan kadang berdiri, aku mengamati setiap orang yang lewat dengan menggunakan sepeda. Sepertinya aku ingin melepaskan hawa dingin yang membekap tubuh dengan meminjam sepeda mereka. Sebagai orang yang berasal dari daerah tropis, meskipun sudah memasuki spring yang bersuhu udara rata-rata 10o C di pagi hari, hawa dingin menjadi isu tersendiri.
Dengan kondisi tersebut, aku lebih merasa nyaman dengan menggunakan jaket ketika berada di luar, sangat berbeda dengan beberapa teman yang sudah mulai beradaptasi dan berani menggunakan t-shirt. Apabila dibandingkan dengan masyarakat lokal, apa yang aku lakukan itu akan sangat terlihat kontras karena mereka berkata bahwa suhu udara 10o C tersebut terasa sangat hangat. No wonder!!!
Di saat hawa dingin seperti ini, aku merindukan suasana Indonesia yang selalu kaya akan cahaya matahari. Bila di Indonesia aku jarang untuk berjemur, saat melihat sinar Matahari di Maastricht, betapa aku sangat bersyukur karena bisa merasakan kehangatannya. Sedikit saja sinar matahari yang menerpa bagian tubuhku, aku merasa seperti mendapatkan setetes air di kala kehausan.
Walaupun demikian, aku mencoba sedikit demi sedikit beradaptasi dengan lingkungan. Aku mulai coba untuk menanggalkan jaket yang kupakai. Saat pergi makan malam bersama teman-teman fellow dari Indonesia, India dan Guatemala atas undangan Jorg dan Aude dari Center for European Studies, aku putuskan untuk tidak mengenakan jaket walaupun hawa dingin masih terasa.
Aku tak henti-hentinya mengucap syukur untuk semua yang terjadi. Terima kasih udara dingin di Maastricht, engkau mengajarkanku banyak hal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H