Mohon tunggu...
Winarto -
Winarto - Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

noord oost zuid west, thuis best.\r\n

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Anggaran Beramal

14 November 2010   14:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:37 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya hari ini membaca novel yang berjudul SERONG! yang ditulis oleh Krismansyah. Bukan untuk berkomentar tentang cerita cinta Ipang, Denok dan Angel, namun saya tertarik pada bagian ketika Ipang dan Denok bersitegang dan berdebat di sebuah tempat makan. Ipang tidak setuju ketika Denok memberikan uang Rp 1000 kepada seorang pengemis. Dia berargumen bahwa memberi Rp 1000 itu terlalu banyak. Lanjutnya, dengan meminjam kalkulator milik si penjual makan, Ipang menghitung berapa uang yang dikeluarkan selama 365 hari apabila seorang pengemis memperoleh Rp 1000. Itu baru seorang pengemis dalam satu hari, bagaimana bila dalam satu hari memberi sampai 4, 5, 6 atau lebih pengemis?

Bagi Denok, memberi uang Rp 1000 untuk seorang pengemis itu sangat kecil. Namun di mata Ipang, pemberian Denok terlalu besar. Denok tidak melihat dan berpikir senjlimet Ipang. Yang dia pikir adalah hanya memberi saja, tanpa berpikir berapa total uang yang mungkin akan dia keluarkan dalam setahun untuk memberi pengemis, atau mungkin juga pengamen. Sebaliknya, Ipang berpikir jauh ke depan. Dia memperkirakan uang yang bisa ditabung dalam setahun yang barangkali bisa mencapai jutaan.

Ketika membaca sepenggal cerita Ipang dan Denok di atas, saya lantas menjelajah waktu-waktu yang telah berlalu selama di Jakarta. Saya merasakan Jakarta sungguh-sungguh berbeda dengan beberapa kota yang pernah saya tinggali. Hampir tiap hari berjalan bolak-balik dari rumah tinggal ke Kampus UI, entah berapa pengemis yang bisa ditemui. Di jembatan penyeberangan Kampus UI saja, pada dari sisi kiri jembatan dan kanan, sudah ada "penghuni" dengan kalengnya. Ada juga yang memberikan amplop kepada orang yang lewat untuk diisi uang sumbangan. Belum lagi kalau bepergian ke berbagai tempat di Jakarta.

Bila berpikiran seperti Denok dan memiliki pacar seperti Ipang, tentu perdebatan di cerita SERONG! itu akan terulang. Mengapa? Jumlah pengemis yang banyak ditemui di jalan, maka akan berbanding lurus jumlah uang yang dikeluarkan oleh Denok. Lantas, Ipang akan menghitung lagi berapa jumlah uang yang dikeluarkan untuk memberi pengemis.

Haruskan serumit itu dan butuh perhitungan anggaran untuk memberi? Mungkin ada melakukan itu dan ada yang tidak. Memberi atau tidak memberi pengemis adalah hak masing-masing individu. Mau memberi banyak atau sedikit, itupun kembali kepada keputusan individu, asalkan memberi secara ikhlas, pasti langit akan memberikan balasan untuk sesuatu yang diberikan secara ikhlas.

Seringkali saya melihat seorang pengemis yang mengucapkan sesuatu kepada orang yang memberinya uang, tidak peduli berapapun uang yang diberi. Bagi saya, ucapan itu adalah sesuatu yang luar biasa. Tidak hanya sebagai ucapan terima kasih, namun juga berupa doa yang dipanjatkan kepada langit untuk orang yang memberi.

Ya, itulah salah satu warna dari banyak warna dalam kehidupan. Manusia harus peduli pada sesamanya. Saya rasa tidak perlu njlimet dan terlalu perhitungan, mengalir saja laksana air. Andaikata langit pun perhitungan untuk setiap tarikan nafas harus bayar, berapa yang harus dibayar oleh setiap manusia? Mari bersyukur dan suka berbagi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun