Kamis malam, sambil menunggu Hoho, Yudo dan Adith yang telah saling janjian untuk ngleseh di angkringan Pak Mul Kontot, saya berinisiatif masuk ke Gramedia di Kawasan Slamet Riyadi Solo. Kebetulan, angkringan Pak Mul Kontot ini terletak di samping Toko Buku Gramedia.
Setelah memarkir sepeda motor, saya menuju ke dalam. Wah, ternyata sedang ada bazar buku murah di samping pintu masuk. Tertarik dengan kata "murah" karena harga buku mulai Rp. 5000, saya pun urungkan niat ke lantai 2. Alasan lain adalah supaya tidak perlu jalan yang lebih jauh, kalau teman-teman sudah tiba di Pak Mul Kontot.
Saya berkeliling dan membaca satu per satu judul buku yang dipajang. Tidak berapa lama, saya menemukan buku yang cukup menarik berjudul Love is Weird. Saya kemudian membaca sekilas isi buku tersebut.
Buku tersebut berisi 13 cerpen berbahasa Inggris yang ditulis oleh 13 siswa SMP Pangudi Luhur. Buku yang diterbitkan pada tahun 2007 ini mendapat sambutan bagus dari Prof. Rusdi Muchtar, SS. MA dari Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI. Dalam sambutannya, diuraikan bahwa buku tersebut lahir dari kerjasama dan kerja keras antara guru dan murid-murid untuk menghasilkan sebuah karya. Pada bagian Acknowledgment, saya akhirnya mengetahui bahwa buku tersebut adalah hasil dari sebuah pembelajaran di kelas Bahasa Inggris di SMP Pangudi Luhur.
Kolaborasi antara guru dan murid pada buku Love is Weird sangat menarik dan layak untuk ditiru pada pola pendidikan dan pengajaran pada semua jenjang. Proses untuk mendapatkan hasil dalam sebuah kelas yang sudah ditunjukkan dengan sangat bagus oleh teman-teman di SMP Pangudi Luhur, layak untuk dijadikan sebuah studi percontohan.
Selama ini banyak keluhan dan kritik terhadap sistem pembelajaran. Hanya berorientasi pada nilai akhir, peran sentral pengajar baik disengaja atau tidak disengaja adalah masalah klasik dalam pendidikan di Indonesia. Mereka juga melupakan bahwa kolaborasi dan kerjasama antara pengajar dan peserta didik akan memberikan manfaat yang lebih berharga ketimbang nilai akhir.
Hal ini barangkali hidden message yang ingin di sampaikan dalam buku karya bersama teman-teman di Pangudi Luhur tersebut. Bahwa nilai akhir sebagai prasyarat kelulusan/kenaikan mereka peroleh, namun di bagian lain terdapat pembelajaran lain yang telah ditampilkan, yaitu berupa kerjasama antara guru dan murid untuk menghasilkan sebuah karya. Dalam prosesnya, pastilah ada saling belajar antara kedua pihak tersebut, dan tentu saling melengkapi. Di sanalah prestasi lebih yang diperoleh baik untuk guru maupun peserta didik.
Banyak hal yang bisa dilakukan dalam bentuk kolaborasi antara pengajar dengan peserta didik. Bila tidak diwujudkan dalam sebuah buku cetak, contoh sederhana lain yang mungkin bisa dilakukan adalah memublikasikan karya tulis bersama tersebut ke dalam blog-blog yang bisa dibaca dan diakses oleh pihak lain. Dengan dukungan kekayaan sumber daya informasi saat ini melalui media internet, produk softcopy atau dalam bentuk blog bisa menjadi sebuah alternatif.
Apakah itu muskil untuk dilakukan? Yang diperlukan adalah kemauan dan kerja keras. Buku Love is Weird adalah output dari satu tahun pelajaran Bahasa Inggris di SMP Pangudi Luhur. Peran pengajar sangat penting dalam mendesain pola-pola kelas kolaborasi sebagaimana ditunjukkan oleh teman-teman di SMP Pangudi Luhur. Tidak kalah penting adalah bahwa setiap hasil yang dicapai dalam proses pembelajaran patut diapresiasi.
Nilai dalam laporan tahunan memang penting. Namun, apabila sebuah kelas mampu memberikan prestasi lain dari sebuah proses belajar, itu adalah sebuah keunggulan. Ketiga belas siswa SMP Pangudi Luhur yang menulis buku Love is Weird telah menunjukkan keunggulan dibandingkan dengan rekan-rekan setingkatnya. Kemarin, saya mengantar adik keponakan untuk mencari informasi tentang pendaftaran masuk SMP. Saya ajak ke SMP N 8 Surakarta. Sesampainya di sana, telah terpasang pengumuman tata cara pendaftaran. Setelah membaca pengumuman tersebut, pada bagian akhir tertuang rumus penilaian untuk masuk ke sebuah sekolah, yaitu jumlah nilai UASBN ditambah dengan prestasi (bila ada). Saya lantas membayangkan, jika tersisa 1 kursi lagi, sedangkan ada 30 orang calon siswa dengan nilai yang sama, namun 1 orang di antaranya memiliki prestasi, maka dialah yang berpeluang untuk diterima.
Jadi, alangkah baik jika proses belajar di kelas dapat melibatkan antara pengajar dengan siswa melalui kerjasama yang dapat memberikan manfaat untuk kedua belah pihak. Bentuknya bisa bermacam-macam dan bervariasi. Sudah saatnya meninggalkan proses belajar tradisional yang hanya berpusat dan mengandalkan guru di depan kelas. Untuk berubah memang butuh proses yang mungkin sulit dan sakit, namun secara perlahan-lahan, pasti akan bisa melewatinya hingga memperoleh hasil yang bisa dibanggakan.