"Jauh dari Desember, tapi dia selalu setia menunggu untuk kembali bertemu, dalam keadaan apa pun"
Segelas kopi hangat mengepul, mengisi sudut meja dengan anggunnya
Sebuah lagu mengiringi halus gelombang wangi, mengalun merdu, memadu aroma lembar kisah penuh luka
Seorang gadis pesakitan terdengar sedang terlena di depan meja, sayup-sayup nada dari sang jendela membuat ia ingin berkata;
Cinta itu seperti air mendidih, yang akan menguap dan habis pada waktunya
Namun, jangan khawatir, jalan pintas itu selalu ada
Dengar ini dengan baik.
Ibarat kau sajikan lautan untuknya, dan satu gunung yang amat besar dan tinggi.
Maka seperti analogi itulah, semuanya akan kandas tepat pada saatnya tiba; kehabisan sumber daya, kiamat
Kau mengerti akan bayangan dari maksudku sayang?
Jika isi yang tertuang lebih banyak; rasa cinta dan kasih, empati dan toleransi
Akan lama juga hubungan itu berlangsung dalam panci; mendidih
Kendala tentu selalu ada; kehabisan sumber tenaga
Hujan misalnya, terlebih badai
Tunggu dulu, jangan dulu pergi karena satu desakan!, sebab kepercayaan akan selalu melindungi bukan?
Memayungi cinta agar tetap hangat dalam pikiran yang sama, tidak terpisahkan
Begitulah sayang, jika kau ingin tahu takaran dari awal sampai akhir yang memilukan.
Jangan lupa kembali pada alam dan bumi; Ayah dan Ibu. Mereka selalu saling menghidupi tanpa memedulikan siapa dan mana yang paling berarti.
Cihaurbeuti, 28 Januari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H