Speedboat berjalan secepat mungkin, tetapi tidak dapat mngejar datangnya gelap sebelum sampai ke kampung Ansus. Setelah satu jam perjalanan speedboat benar-benar berjalan dalam kegelapan. Ini membuat speedboat harus berjalan hati-hati. Waktu sepertinya berjalan lama, ketika kita berada dalam ketidaknyamanan. Sesekali di sepanjang pulau Yapen nampak lampu kecil remang-remang yang menjadi penanda adanya kampung di tempat tersebut. menginapTak atu kapal pun yang ditemui, ini membuktinya sepinya lalu lintas transportasi laut di wilayah ini.Empat puluh menit kemudian barulah kami melihat lampu di kejauh. Akhirnya kami sampai juga di Kampung Ansus. Saya tidak dapat melihat dengan jelas suasana kampung ini karena benar-benar gelap hanya ada lampu di sejumlah rumah. Kami merapat di dermaga kayu. Malam itu suasana dermaga cukup ramai. Masuk ke dalam banyak pedagang menjual berbagai makanan, juga kios-kios yang menjual aneka kebutuhan warga. Mungkin ini satu-satunya ruang publik yang dimiliki warga. Suara lagu dari radio tape dibunyikan keras-keras. Suara riuh rendah warga yang bersenda gurau atau tawar menawar dagangan menghilangkan kesunyian pulau ini. Kami hanya membeli makan dan minum untuk dibawa ke rumah menginap.
Rumah tempat menginap kami adalah rumah milik keluarga sopir speedboat, jaraknya hanya sekitar 100 meter dari dermaga. Rumahnya dibangun di atas air terbuat dari papan dengan atap dari daun sagu. Sopir speedboat cerita bahwa dengan atap dari daun sagu lebih nyaman daripada memakai seng. Alas rumah memanfaakan kulit kayu sagu. Nyamannya di tempat ini, justru kami tidak merasakan gangguan nyamuk. Padahal di Hotel kami di Serui justru banyak nyamuk. Menurut sopir speedboat, nyamuk tidak kuat dengan uap garam yang dikeluarkan air laut. Rumah punya panel surya dan genset sehingga penerangan di rumah ini cukup memadai. Kami duduk di teras rumah tanpa atap ehingga bebas memandangi langit yang agak mendung. Kami menikmati makan dengan rasa syukur jarena sampai ke Ansus tanpa masalah. Kami tidak dapat langsung tidur karena tidak tersa mengantuk. Mungkin juga saya ingin menikmati suasana malam di kampung ini. Jam 1 dinihari saya baru berangkat tidur di dalam rumah beralaskan tikar daun sagu. Punggung saya merasakan kayu-kayu membujur yang menjadi lantai rumah. Harus tidur karena jam 5 pagi harus egera meninggal Ansus secepat mungkin supaya mencapai Serui. Di sepanjang perjalanan ini sinyal HP tidak ada, sehingga kami kuatir tidak dapat menerima informasi penting dari kolega. Memang ada telepon satelit di kampung ini, tetapi dari satu yang ada semalam kami coba datangi tidak dapat untuk telepon karena tidak ada bensin untuk menghidupkan genset sebagai tenaga telepon satelit tersebut. Tidak semua kampung mempunyai telepon satelit.
5 Desember bangun dengan perasaan lebih segar. Pagi yang cerah. Ternyata dengan pandangan yang lebih jelas saya dapat menyaksikan keindahan di kejauhan. Bujuran Pulau Yapen dan pulau kecil dengan latar belakang langit pagi. Setelah Sholat Subuh saya tidak dapat berlama menikmati pemandangan ini, kami harus segera pergi. Angin bertiup cukup kencang yang menandakan cuaca berubah menjadi tidak begitu baik. Memang menurut cerita speedboat, cuaca dan angin bisa berubah dengan cepat. Makanya harus bisa mengikuti dan membaca suasana alam. Seorang ibu dan dua anak kecilnya yang semula akan ikut ke Serui membatalkan diri karena takut angin di laut akan besar dan hujan. Kami segera berangkat. Angin memang terasa agak kencang. Air laut pun beriak. Langit mulai tersaput angin gelap. Setelah 1 jam speedboat meliukliuk. Ada kekuatiran juga jika hujan bertambah lebat. Deburan ombak di tepi pantai menggoda kecemasan. Sekujur badan terasa dingin. Speedboat berguncang-guncang. Pantat teras panas, lama beradu dengan tepat duduk papan kayu. Dalam suasana kekuatiran seperti ini kita merasa kekuatan Pencipta dan tentu menggantungkan pada kepiawaian sopir speedboat. Mungkin saja orang perlu sesekali menghadapai kekuatiran atau ketakutan supaya selalu punya ingatan pada Sang Pencipta. Rupanya hujan semakin gelap pulau Yapen tidak nampak karena tertutup kabut. Sopir speedboat nampak berusaha keras mengarahkan kapal ke jalur yang aman sambil berkonsentrasi memandang kabut yang menutupi pulau. Mungkin pengalamannya sudah membentuk pengetahun tentang arah yang benar speedboat ini. Menurut pemandu kami, biasanya kalau hujan sangat lebat dan berkabut sekali yang tidak memungkinkan pelayaran maka kapal akan segera ditutup terpal dan jangkar dijatuhkan. Kapal berhenti m enunggu reda hujan. Suasna sekarang ini masih dianggap aman untuk berlayar meskipun harus hati-hati. Saya berusaha menikmati suasana ini. Ketegangan tidak harus dihadapai penuh ketakutan.
Satu setengah jam kemudian kami sudah melihat pelabuhan Serui. Speedboat tidak merapat di dermaga karena hujan masih lebat. Kami merapat di rumah sopir speedboat yang berada di sebelah kiri dermaga. Kami harus hati-hati menaiki papan kayu rumah. Dari rumah tersebut kami berjalan ke arah jalan menunggu jemputan.
Hari ini kami hanya di dalam kamar karena agak batuk mungkin karena kedinginan. Kami mengurungkan kunjungan ke Distrik Raimbawi yang terletak di ujung Timur Pulau Yapen. Kami minta pemandu kami mendatangi kampung tersebut. Siang hari kami ke pelabuhan melihat persiapan pemberangkatan ke Distrik Raimbawi. Selanjutnya kami istirahat kembali ke hotel.
Minggu 6 Desember. Kami hanya bersantai di hotel sambil mengepak barang karena esoknya akan ke Biak.
Senin 7 Desember pukul 08.20 kami berangkat ke Banda Sujarwo Condronegoro. Kami akan naik pesawat Susi Air penerbangan kedua pukul 09.20. Tiket Biak-Jakarta yang kami miliki sebenarnya untuk keberangkatan tanggal 9 desember 2009, tapi berharap dapat pemberangkatan garuda lebih awal bila ternyata ada kursi kosong. Untuk Garuda tanggal 7 dan 8 masih cadangan. Tetapi saya yakin kemungkinan kecil tanggal 7 ini bisa meninggalkan Biak, meskipun ada informasi kursi kosong tetapi Susi Air yang saya tunpangi mendarat i Bandara Frans Kaisepo pada pukul 09.45-an. Pada jam tersebut mungkin Garuda sudah siap tinggal landas. Sayang sekali. Gimana lagi karena Susi Air penerbangan pertama sudah penuh. Sementara maskapai lain yakni Aviastar hanya terbang dua kali dalam seminggu, dan hari itu tidak ada pesawatnya yang terbang dari Serui.
Kurang dari satu jam di Bandara Sujarwo Condronegoro, pesawat Susi Air yang kami tunggu mendarat. Lima belas menit menunggu kami dipersilakan masuk pesawat. Lagi-lagi pilotnya bule. Semua kursi terisi penuh. Pesawat take off dengan mulus. Saya bisa menyaksikan lagi kota serui dan pulau Yapen dari atas, tetapi agak samar. Cuaca pagi itu mendung. Lima menit terbang pesawat harus melewati awan agak tebal dan hujan. Pesawat agak bergoyang. Dan beberapa kali secara tiba-tiba meluncur ke bawah sekitar 2 meter. Banyak penumpang yang panik. Tapi, tak apalah itu justru menambah ingatan kepada Kepulauan Yapen yang indah dan orang-orangnya yang ramah. Semoga pemerintah Indonesia (pusat) dan Pemerintah Papua semakin memperhatikanmu. Dan mudah-mudahan Pak SBY yang kaurindukan segera berkunjung ke Yapen.....(*Winarta).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H