Mohon tunggu...
Winarta Hadiwiyono
Winarta Hadiwiyono Mohon Tunggu... -

Lahir dan tinggal di Sleman, Yogyakarta. Email: winarta@excite.com, oewin@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Orang Yapen Papua Ingin Bertemu Pak SBY

15 Juli 2010   06:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:51 1142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ini pelayaran yang cukup menyenangkan karena saya dapat menyaksikan sisi-sisi pulau Yapen. Pulau ini nampak indah dilihat dari sisinya. Kelihatan sekali sebagian besar wilayah ini belum didiami. Umumnya, penduduk tinggal di bibir pantai membentuk kampung/ desa. Jarak antar kampung juga berjauahan. Di bagian tengah pulau mungkin masih jarang didiami. Perjalanan kami bebelumnya ke Distrik Kosiwo melalui jalur darat kelihatan masih sedikit penduduk di tengah pulau. Itu kemungkinan karena minimnya akses jalan darat. Transportasi dominan masih jalan laut. Sehingga masyarakat lebih berkonsentrasi tinggal di pantai. Di kejauhan nampak bahwa pulau ini mengalami abrasi yang mengkuatirkan. Bagian pulau yang mulai terpisah karena terjangan gelombang, Pohon-pohon yang menyembul dari dalam air menandakan hilangnya daratan karena abrasi. Saya bisa menikmati perjalanan ini dengan penuh kekaguman pada tanah air ini. Satu jam perjalanan, angin laut terasa kencang dan gelombang pun meninggi. Speedboat tergoncang-goncang. Menerjang, naik, turun menyesuaikan irama air.

Agaknya sopir speedboat cukup lihai sehingga membuat saya menjadi tenang. Apalagi saya juga sudah memakai baju pelampung. Hempasan air menerpa badan. Asin terasa di mulut karena kemasukan air laut. Alam memang bukan untuk dilawan, tapi kita perlu menyesuaikan maka akan terjadi keselarasan yang akan menjamin keselamatan. Setelah tiga setengah jam perjalanan, molor satu setengah jam dari perkiraan kami sudah mendekati Distrik Wonawa. Dari jauh nampak rumah penduduk dari papan berdiri di atas air. Rumah-rumah yang sederhana. Kami merapat di kampung Wooi. Sebuah dermaga sederhana dari kayu yang menjadi jalan masuk kampung. Kami segera naik ke atas dermag. Kami mencari Kepala kampung tapi ternyata sedang pergi ke Serui. Kami ditemui oleh pengurus kampung dan istri kepala kampung. Istri Kepala Kampung bernama Delila Kirihiyo. Warga yang lain Gasper Aronggeyar (masuk Dumani). Dari mereka kami mendapatkan informasi bahwa Kampung yang kami datangi yang benar adalah Kampung Wooi 2 yang merupakan pecahan dari kampung Wooi. Jumlah KK sekitar 180.

Mereka mengeluhkan sumber penerangan. Selama ini sumber penerangan adalah tenaga surya. Memang di sejumlah rumah di atas atasnya nampak menyembul panel surya. Masalahnya jumlah panel surya hanya 50 buah, yang sangat kurang dengan jumlah penduduk. Mereka juga mengeluhkan anggaran yang mereka terima dari pemerintah daerah (dana RESPEK= Rencana Strategis Pembangunan Kampung) sebesar Rp 100 juta per kampung tanpa memperhatikan jumlah KK/jiwa di tiap kampung. Mestinya jumlah anggaran kampung disesuaikan dengan jumlah warga di setiap kampung. Mereka mendambakan pemimpin yang mempunyai jiwa membangun. Seorang warga yang pernah datang ke Jakarta, merasakan betapa wilayahnya sangat ketinggalan dibandingkan dengan Jawa. Agaknya slogan membangun dari kampung dulu, yang digulirkan pemerintah Provinsi Papua, belum berjalan dengan sebenarnya.

Sekitar 1 jam di kampung Wooi 2, kami pindah ke kampung Kanaki. Hanya perlu waktu 15 menit untuk sampai kampung tersebut. Untung cuaca cukup bagus sehingga dengan mudah kami mencapainya. Beberapa hari sebelumnya menurut penuturan warga angin kencang, sehingga meskipun Kanaki tidak jauh dari Wooi 2 tetapi tidak ada warga yang berani pergi ke sana. Rumah-rumah di kampung Kanaki sebagian besar terbuat dari papan dan tempok dan didirikan di daratan/tanah. Dibandingkan dengan Wooi 2, rumah-rumah di Kanaki jauh lebih baik dan bersih lingkungannya. Mungkin karena terdapat dataran rata yang cukup luas sehingga memungkinkan warga membangun rumah di daratan. Kami bisa bertemu dengan kepala kampung dan sekitar 10 warga yang sedang berada di sekitar rumah kepala kampung. Kelihatannya sekitar rumah kepala kampung menjadi area publik karena terletak paling depan dari pantai yang menjadi jalan masuk kampung. Belum ada dermaga di kampung ini.

Marinus Kawar, seorang warga kampung mengeluhkan sarana air bersih. Sebenarnya sudah tersedia jaringan pipa air tetapi sudah lama tidak berfungsi karena tidak ada genset untuk menarik sumber air. Sama dengan warga di Wooi 2, warga kampung Kanaki juga membuat saluran air sederhana untuk menyalurkan air dari mata air. Di banyak kampung, mata air tawar cukup tersedia dan mengalir baik. Ini tetntu disebabkan masih terjaganya wilayah daratan. Warga Kanaki juga telah membuat jaringan listrik dengan menggunakan tenaga genset. Dananya dari pemanfaatan dana Respek. Mereka mengeluhkan transportasi laut yang belum terjamin sehingga mobilitas warga juga terhambat. Sementara jalan darat belum tersedia. Karena hari mulai gelap kami memutuskan segera memutuskan meninggalkan Kanaki. Speedboat tidak dilengkapi lampu penerangan dan tidak ada rumahnya. Sehingga kalau hari gelap dan hujan cukup merepotkan laju speedboat. Kami tahu tidak mungkin langsung pulang ke Kota Serui, yang paling aman adalah singgah di Kampung Ansus Distrik Yapen Barat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
  20. 20
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun