Ku sambut pagi dengan menyiram tanaman di lantai 2, biasanya istriku yang melakukannya. Saat ini ia sedang bersama anak-anak liburan ke rumah mbahnya di Purwokerto, Jawa Tengah.Â
Selain ada kerjaan proyek yang gak bisa ku tinggal terlalu lama, aku juga harus menjemput sepupuku di Bandara Soeta, dia adalah anak bude ku yang saat ini menetap di Riau. Ia akan mengikuti seleksi masuk ke sekolah farmasi ITB untuk mengambil program apoteker.Â
Konon katanya, tenaga Kesehatan terdiri dari beberapa kelompok salah satunya adalah tenaga kefarmasian. Tenaga farmasi dibedakan menjadi dua yakni apoteker dan teknis kefarmasian.
Semalam aku baru saja tiba dari Bandung hampir tengah malam, tidak seperti biasanya lalu lintas Jakarta tetap padat walaupun sudah hampir tengah malam. Aku berangkat dari Bandung pada pukul 19:15 setelah selesai makan malam di cafe Bali.Â
Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker. Apoteker memiliki kewenangan dalam pelayanan kesehatan secara mandiri sesuai dengan lingkup kompetensinya. Khusus apoteker memiliki kewenangan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian. Untuk menjadi apoteker seorang sarjana farmasi harus menggambil pendidikan profesi selama 1 tahun. ITB adalah salah satu perguruan tinggi yang menyelenggarakan program pendidikan profesi apoteker.
Selama ini aku gak pernah tau berapa yang sudah dihabiskan oleh bosku untuk mentraktirku makan. Tersimpan niat yang kuat untuk suatu hari nanti jika aku berkesempatan, aku akan kembali ke Cafe ini.Â
Pagi ini aku sudah ngopi di lobi penginapan, usai memasukkan barang bawaan keponakan ku dan juga barang teman-temannya ke dalam mobil. Mereka langsung cek out, karena test di laksanakan 2 sesi, pagi dan sore.
Lalu aku bersama ayah dari teman keponakanku yang juga mengikuti seleksi masuk program apoteker di ITB, berjalan kaki sekedar menghirup udara segar. Langkah kaki kami mulai dari penginapan, yang ada di jalan Ciung Wanara, menyusuri jalan Ganesha lalu belok kiri, setelah itu belok kanan menuju jalan Mekarsari. kami berjalan di sepanjang trotoar jalan Mekarsari sampai jalan Dayang Sumbi.Â
Di seberang kiri jalan terdapat beberapa destinasi wisata di Kota Bandung antara lain Kebun Binatang Bandung, yang dinding yang menghadap jalan raya digambar mural berwarna-warni dan Sabuga. Â Di trotoar jalan Juanda, kami beristirahat menikmati suasana pagi di Kota Bandung, Kota Kembang, Kota Fashion, Kota Kuliner, Kota Kreatif, dan juga Kota Pendidikan.Â
Kami terhenti melihat dua orang mengenakan jaket bertuliskan BCG Pro (Bandung Cycling Grapher). Di tangan mereka sebuah kamera DSLR dengan lensa yang cukup panjang. Salah satu dari mereka bernama Yusep, biasanya mereka meliput event nasional di berbagai provinsi.Â
Kami kembali berjalan, suasana lalu lintas mulai ramai, kami berjumpa dengan pesepeda, petugas kebersihan, dan penjaja makanan. Salah satu penjaja makanan yang kami jumpai adalah Bang Irfan, penjual Kembang Tahu. Pembayaran dilakukan menggunakan aplikasi QRIS. Satu porsi kembang tahu dibanderol dengan harga Rp 10.000 (sepuluh ribu) rupiah saja.Â
Usai menghabiskan semangkok kembang tahu, kami berjalan kembali ke penginapan. Kami telah berjalan kaki menempuh jarak 4,9km. Menjelang pukul 11:30 kami cek out dari penginapan, kami masukkan barang bawaan kami ke dalam mobil, mobil tetap di parkir di halaman penginapan walaupun kami sudah cek out. Lalu kami berjalan ke Masjid Salman untuk menunaikan shalat Jumat. Walaupun bagian dalam dan teras masjid masih banyak tempat kosong, beberapa jamaah lebih suka shalat di halaman masjid. Â
Tak lama kemudian kami mencoba kuliner Soto Ayam yang ada di dekat pertigaan jalan Ganesha dan jalan Juanda. Suasana agak ramai, kami harus menunggu hampir 10 menit untuk mendapatkan semangkuk soto dan sepiring nasi. Semangkuk soto ayam dan sepiring nasi lenyap dalam sesaat. Seperti biasa saat perut kenyang, kantuk pun datang. Kami mencoba mengusir kantuk dengan berjalan ke arah tempat duduk yang disediakan di sepanjang trotoar Jalan Juanda.Â
Suasana tampak mendung, kami memutuskan untuk kembali ke masjid Salman untuk meluruskan kaki. Lalu kami mengikuti shalat ashar berjamaah, hujan turun. Kami menghabiskan waktu di teras masjid Salman.Â
Sambil menunggu sepupuku aku mencoba mencari nomor kontak bosku untuk menanyakan alamat cafe tempat kami sering makan dulu, tak lama pesan masuk, berupa google map, jaraknya pun tak begitu jauh dari tempatku saat ini, Masjid Salman ITB.Â
Tekadku bulat, aku ingin bernostalgia dengan cafe Bali. Cafe ini merupakan salah satu cafe di Bandung yang begitu sulit aku lupakan. Di awal karirku sebagai tukang bangunan, beberapa kali bosku mengajakku disini. Masih segar diingatan manakala aku dapat menyelesaikan pemasangan batu alam di rumah pelanggan, si bos lantas mentraktirku makan di cafe ini.
Aku mengajak sepupuku dan 3 orang temannya untuk menikmati makan malam disini. Perjalanan terasa lambat, sore ini lalu lintas agak ramai. Menjelang magrib kami tiba, seorang pramusaji mendekati kami dan menanyakan apakah kami ingin di ruang smoking atau non smoking room.Â
Kami memilih non smoking room, tak lama 6 buah booklet menu disodorkan, kami butuh waktu beberapa saat untuk menentukan pilihan, beberapa menu tidak tersedia sehingga aku harus berganti pilihan. Magrib tiba, kami shalat magrib di mushola yang disediakan.
Setelah makan malam kami kembali ke mobil dan bergerak menuju Jakarta. Aku merasa puas dapat mewujudkan obsesi yang sudah lama aku simpan. Good bye Bandung, I love you so much. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H