Mohon tunggu...
Winardi Dedi
Winardi Dedi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

hobi mengliping berbagai berita dan terus belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Adat Minangkabau Melawan Zina

7 Januari 2013   13:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:24 613
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"mandi di picuran gadiang,
tapanjek di lansek masak,
takuruang di biliak dalam,
manyasok ka bungo kambang"

Kawan-kawan di facebook  ramai membahas persoalan anak zina yang dikaitkan dengan sistem kekerabatan matrilineal di Minangkabau. Sistem kekerabatan yang menjadikan ibu sebagai acuan sehingga bapak seseorang tidak dicantumkan dalam silsilah (ranji) keluarga disinyalir seorang facebooker menempatkan orang Minang sebagai "anak tak berbapak"  sehingga memberikan justifikasi sebagai anak zina (anak haram). Dengan demikian sang facebooker mempertanyakan legitimasi asas "adat basandi syarak, syarak basandi ktabullah" dalam adat (budaya) Minangkabau. Komentar berhamburan dan beberapa diantaranya menanggapi dengan emosional sementara si penyulut polemik membela diri dengan menyatakan bahwa dia mengajak berdiskusi bukan berkelahi (kurang lebih demikian).

Sebenarnya jika kita menyelami polemik ini secara jernih maka jawaban terhadap polemik ini sederhana saja, bahwa perzinahan dan sistem kekerabatan Matrilineal (mengacu pada ibu) ataupun Patrilineal (mengacu pada bapak) tidak ada hubungannya sama sekali. Perzinahan dan hasilnya berwujud anak zina dapat saja terjadi pada masyarakat yang menganut sistem kekerabatan apapun. Perzinahan terjadi dan anak zina lahir bukan karena akibat sistem kekerabatan namun karena kegagalan seseorang mengendalikan syahwat sehingga melakukan hubungan suami isteri diluar pernikahan. Disinilah pokok pangkalnya yaitu: Pernikahan. Tentunya dalam masyarakat Minangkabau pernikahan yang sejati adalah pernikahan yang rukun dan syaratnya menurut ketentuan Islam (basandi Syarak)

Islam dengan adat (budaya) di Minangkabau telah menjadi kesatuan sehingga identitas etnis (baca: Minangkabau) dan identitas iman (Islam) menjadi padu maka setiap orang Minangkabau lazimnya menganut agama Islam sehingga dituntut hidup berkehidupan sesuai tuntunan Islam. Namun perlu diingat bahwa salah satu bukti keagungan Islam adalah agama ini bukanlah agama penjajah. Islam masuk ke Minangkabau dengan damai dan masyarakat Minangkabau pra Islam bertahap menerimanya sampai berpadu dengan adat (budaya). Masyarakat Minangkabau yang egaliter dan komunal menjadi berjodoh dengan Islam yang tidak memandang perbedaan latar belakang seseorang dan mengutamakan persaudaraan. Benturan demi benturan memang terjadi (konflik yang terbesar  adalah Perang Paderi yang ditunggangi penjajah Belanda) sehingga proses pengikisan "adaik nan muntaniak" (jahiliah) dengan ajaran Islam yang berusaha meleburkan diri kedalam adat Minangkabau mengalami proses panjang dengan segala pasang surut hingga saat ini.

Betapapun Islam tidak mentolerir perilaku dan tatanan (adat) jahiliyah namun Islam tidak menggusur tatanan yang tidak menyimpang dari Islam bahkan memperkayanya. Oleh sebab itu sistem kekerabatan matrilineal dan pusaka ulayat kaum dibiarkan bertahan karena Islam melarang merusak hubungan silaturrahim siapapun dan melarang menguasai sesuatu yang bukan haknya. Sehingga siapapun di Minangkabau tidak perlu khawatir keislamannya jadi cacat karena berkaum/bersuku menurut ibu yang melahirkannya (Islam memuliakan kaum Ibu) atau karena pusaka jatuh kepada saudara perempuannya karena tetap dalam lingkungan kaum (harta komunal) dan peranan laki-laki sangat sentral disini yaitu sebagai "Mamak Kapalo Warih" . Disini berlaku asas "kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka pangulu, pangulu barajo ka mufakat, mufakat barajo ka alue jo patuik sasuai barih jo balabehnyo" . Tak ada ketentuan adat yang melarang harta (pusako) pencaharian seorang bapak untuk diwariskan kepada anak-anaknya sesuai ketentuan Islam (faraidh).  Dalam pernikahan berlaku "syarak mangato adaik mamakai" sehingga siapapun yang akan menikah yang menjadi wali nikah adalah laki-laki menurut nasab (silsilah menurut bapak) dari pengantin perempuan, mahar ditunaikan dari pengantin laki-laki kepada pengantin perempuan. Setelah itu terpenuhi barulah "adat diisi limbago dituang, dipalegakan di labuah nan golong jo pasa nan rami" alias "baralek"

Kembali pada persoalaan zina maka Islam dan adat Minangkabau sejatinya satu padu mengahadapi dalam kejahatan yang satu ini yaitu Lawan!. Ketentuan hukum pidana adat Minangkabau sangat berjiwa Islam sekalipun agama ini masuk sesudah hukum pidana adat ini telah melembaga. Perzinahan dilarang keras dan dikenakan sanksi (pidana) yang keras menurut "undang-undang nan salapan jo undang-undang nan duo baleh" (KUHP dan KUHAP-nya Minangkabau) sehingga kejahatan yang dikategorikan "sumbang salah" ini dapat dikenakan sanksi pembuangan dari kaum dan nagari sampai hukuman mati (teknis pelaksanaan pidana mati bisa beragam pada setiap nagari) yang diperinci sebagai berikut:

"mandi dipincuran gadiang" artinya sengaja memasuki tempat atau mengganggu kehormatan ("tacemo") orang lain yang bukan mukhrim,  sanksinya berupa "mambayia bangun" (denda) ternak atau emas;
"tapanjek di lansek masak"
artinya bujangan dan gadis berzina,  sanksinya "dibuang siriah" atau "dibuang tikarang" dari kaum dan/atau nagari;
"takuruang di biliak dalam"
artinya sengaja berzina dengan istri orang lain, sanksinya mati;
"manyasok ka bungo kambang"
artinya memperkosa perempuan, sanksinya mati.

Namun sayang sekali dalam penerapan hukum pidana saat ini, ketentuan diatas tidak berlaku maksimal atau dapat dikatakan telah "mati suri"  karena berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht) dan dihapuskannya peradilan adat dengan Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1950. Bahkan yurisprudensi Mahkamah Agung dalam hal pidana adat belum cukup menggerakan ninik mamak dan penegak hukum untuk menerapkan ketentuan ini dalam sistem peradilan pidana.

Dengan demikian telah nyata sejak zaman dahulu kala masyarakat Minangkabau melawan zina dan tidak ada urusannya dengan silsilah (ranji) keluarga menurut Ibu (sistem matrilineal) sehingga tidak perlu orang Minangkabau merasa goyah akan legitimasi "Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah, adat nan kewi syarak nan lazim, adat manurun syarak mandaki, adat jo syarak bagai aue jo tabiang-sanda manyanda kaduonyo, syarak mangato adat mamakai". Persoalannya yang mendasar saat ini adalah bagaimana kita menilai sesuatu dengan bijaksana dan membumikan kembali nilai-nilai luhur budaya yang sesuai dengan Islam dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa nan bernegara sebab Minangkabau bagaikan "sawah indak bapamatang, ladang indak babintalak". Na'udzubillahiminzalik!

"tatumbuak biduak dikelok an,
tatumbuak kato dipikiakan,
pikia itu palito hati"

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun