“Sensasi indonenglish vs Pemajuan kebudayaan”esai ini cukup menarik untuk di kemukakan.Membahas fenomena penggunaan Bahasa Indonesia bercampur dengan Bahasa inggris yang biasa di gunakan dalam kehidupan sehari – hari dan kian marak dikalangan anak muda Indonesia, khususnya di kalangan mahasiswa ataupun di kota – kota besar.
fenomena ini juga tidak hanya terbatas pada percakapan informal, tetapi juga merabah ranah ke percakapan formal, dari iklan hingga media sosial, kerap mengedepankan gaya Bahasa campuran sebagai simbol modernitas dan mengupdate gaya bahasa baru. Secara mendalam untuk mempertimbangkan pengalaman dan menghubungkan dalam penulis esa iini, menggambarkan indonenglish sebagai tantangan bagi kelestarian Bahasa Indonesia, sekaligus mengunggah perhatian publik tentang pentingnya menjaga dan melestarikan Bahasa nasional sebagai cerminan kebudayaan.
Dalam esainya, Bernando J Sujibto sebagai penulis mengangkat istilah “ captive mind “ Dimana fenomena ini di perkenalkan oleh syed Hussein alatas untuk menjelaskan kondisi mental masyarakat yang masih terjajah oleh n dan kompetensi di banyak sektor kehidupan di Indonesia. Captive mind, menurut Alatas, Adalah kondisi Dimana masyarakat tidak sadar akan keterikatannya pada pengaruh luar yang mengendalikan cara berfikir dan bertindak. Dengan kata lain, ketergantungan pada Bahasa inggris dalam konteks indonenglish dianggap sebagai bukti ketidakmampuan bangsa ini untuk melepaskan diri dari sisa – sisa kolonialisme budaya.
Apa yang unik dari esai ini adalah pengamatan kritis terhadap bagaimana indonenglish berkembang pesat dan menyebar luas, baik melalui pengaruh artis dan selebritas, maupun lewat media sosial dan teknologi. Dimana penulis mencatat bahwa penggunaan Bahasa campuran ini awalnya merupakan fenomena subkultur, tetapi kini sudah menjadi praktek umum di masyarakat, khususnya di wilayah kota – kota besar dan mungkin dengan seiringnya waktu akan masuk diwilayah perdesaan. Kondisi ini memunculkan kekhawatiran bahwa Bahasa Indonesia akan semakin terpinggirkan dan kehilangan tempat sebagai Bahasa utama dalam percakapan sehari – hari, bahkan di forum formal.
Disini, penulis menekankan bahwa Bahasa, memiliki peran penting dalam mempertahankan identitas dan kedaulatan budaya. Penulis juga mengkritik tren internasionalisasi kampus dan sistem pendidikan yang meskipun bertujuan baik, sering kali malah mengesampingkan Bahasa Indonesia. Progam – progam internasionalisasi kampus sering kali menenkankan penggunaan Bahasa inggris dalam pengajaran,publikasi,dan penelitian.akibatnya ,Bahasa Indonesia dianggap tidak relevan atau tidak cukup prestisius untuk menjadi medium dalam konteks akademis.
Hal ini adalah bentuk “ melacurkan diri” pada standar barat yang di anggap lebih unggul, tanpa memperhatikan nilai – nilai lokal dan pentingnya mempertahankan Bahasa sebagai produk kebudayaan nasional. Pandangan ini layak diapresiasi karena menawarkan kritik konstruktif terhadap kebijakan pendidikan yang berpotensi mengikis kekuatan Bahasa Indonesia.
Kritik yang saya ajukan dalam esai ini. Pertama, cenderung berargumen berdasarkan observasi dan persepsi subjektif tanpa menyanjikan data empiris yang kuat. Misalnya, penulis menyebutkan bahwa selebritas dan media sosial berperan besar dalam penyebaran indonenglish, tetapi tidak memberikan contoh atau data spesifik untuk mendukung klaim tersebut. Studi kasus tentang bagaimana selebritas mempengaruhi Bahasa anak muda atau survey tentang tren penggunaan Bahasa campuran di media sosial bisa memperkuat argumen ini.
Selain itu, penulis juga tidak banyak membahas Upaya yang sudah dilakukan pemerintah untuk memajukan dan melindungi Bahasa Indonesia. Padahal topik tersebut penting dalam konteks kebijakan kebahasaan nasional. Salah satu aspek yang menarik dari esai ini kritik terhadap para orang tua yang mendukung praktik indonenglish dengan dalih mempersiapkan anak – anak mereka untuk menghadapi dunia global. Yang ditanyakan penulis apakah para orang tua ini sudah benar – benar mendidik anak – anak mereka dalam bahasa indonesia dengan baik, sebelum memperkenalkan bahasa asing.
Penulis juga mengangkat isu yang relevan terkait pengabaian bahasa ibu di dalam keluarga,yang pada akhirnya dapat berkontribusi pada degradasi bahasa indonesia di generasi mendatang. Kekhawatiran ini dapat dipahami sebagai respons terhadap fenomena globalisasi, dimana bahasa inggris sering kali dianggap sebagai alat utama untuk mencapai kesuksesan di dunia modern, sementara bahasa indonesia di pekesampingkan.
Esai ini bisa lebih kuat dengan menawarkan solusi konkret.
Mesti penulis menyarankan pemerintah lebih aktif mempromosikan bahasa indonesia,tidak ada langkah praktis. Misanya, apakah di perlukan regulasi lebih ketat atau kampanye nasional? Pembahasan ini bisa memperkaya diskusi kebijakan bahasa.esai ini sudah menunjukan pentingnya menjaga bahasa indonesia di tengah globalisasi, terutama terkait fenomena indonenglish.kritik terhadap captive mind, internasionalisasi kampus, dan peran pemerintah mendambah kedalaman. Namun, tambahan data dan solusi praktis akan membuat kontribusi esai ini lebih sinigfikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H