Planet bumi hanya satu. Kalau semua permukaan bumi tertutup oleh limbah domestik, dimana tempat anak cucu kita nanti akan tinggal? Apa yang perlu mendapat perhatian khusus untuk menjaga lingkungan dari limbah domestik?
Awal Permasalahan: Plastik
Tahun 2019, media sosial diramaikan dengan foto penemuan sampah plastik bungkus mie instan yang berusia 19 tahun di pantai Jawa Timur. Bungkus tersebut terlihat utuh, meskipun warnanya sedikit memudar. Sebelum itu, ditemukan kejadian serupa seperti penemuan bungkus shampo yang diperkirakan diproduksi pada tahun 1980-an, atau berusia lebih dari 30 tahun ketika ditemukan di salah satu pantai di Indonesia. Beberapa cuplikan kejadian ini merupakan bukti nyata bahwa sampah plastik sulit untuk terurai dalam waktu yang lama.
Tak heran jika dahulu, masyarakat selalu dihimbau untuk membuang sampah pada tempatnya. Slogan tersebut ditujukan untuk mengatasi penanganan sampah yang muncul akibat adanya urbanisasi pada masa itu. Namun, melihat cuplikan fenomena di atas, konteks permasalahan yang dimiliki saat ini sudah semakin kompleks. Maka, slogan yang sudah tumbuh berpuluh-puluh tahun itu perlu disempurnakan dengan kondisi saat ini.
Permasalahan limbah domestik yang paling terasa di masyarakat ialah tumpukan sampah plastik. Meskipun sampah plastik sudah berakhir di tempat yang semestinya, yaitu Tempat Pemrosesan Akhir (TPA), ada permasalah lingkungan yang dihadirkan. Indonesia belum melengkapi TPA dengan metode pengelolaan sampah yang berwawasan lingkungan. Sampah-sampah yang datang ke TPA hanya diratakan dan dipadatkan menggunakan alat berat, kemudian ditutup dengan tanah. Hal ini mengakibatkan area yang dijadikan TPA akan semakin luas seiring dengan bertambahnya limbah domestik yang dibuang.
Bahan Pengganti Plastik Naik Daun
Salah satu cara untuk menjaga lingkungan dari limbah domestik yaitu dengan mengendalikan jumlah penggunaan plastik. Hal ini yang menjadi dasar bagi pemerintah untuk melarang penggunaan kantong plastik sekali pakai di pusat-pusat perbelanjaan. Resminya peraturan tersebut memberikan gejolak besar dalam kegiatan perdagangan dan industri di Indonesia.
Para pelaku industri secara cermat mengambil posisi ini dengan menawarkan berbagai alternatif pengganti plastik. Salah satu yang paling sering ditemukan ialah spunbond. Tas spunbond dianggap lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan kantong plastik yang biasa dipakai. Selain itu, spunbond memiliki bahan yang lebih kuat dan tersedia dalam berbagai ukuran.
Peralihan dari kantong plastik ke tas spunbond menuntut masyarakatnya untuk turut mengadaptasi kebiasaan baru, yaitu membawa tas spunbond ketika ingin berbelanja. Dalam rentang 5 tahun sejak diberlakukannya peraturan tersebut, kebiasaan ini belum juga terbentuk. Banyak masyarakat yang sering lupa membawa tas spunbond ketika berbelanja, atau, adanya keinginan untuk berbelanja secara mendadak padahal tidak membawa tas spunbond. Menjawab permasalahan ini, tentu pihak pusat perbelanjaan tidak ingin membiarkan pelanggan untuk membatalkan transaksi. Maka mereka menyediakan tas-tas spunbond yang dapat dibeli di meja kasir. Alhasil, tas spunbond ini semakin menumpuk di rumah-rumah.
Permasalahan kantong plastik mungkin sedikit teratasi saat ini. Namun, tanpa disadari hal ini malah menimbulkan masalah baru yang lebih parah. Tas spunbond yang didesain untuk pemakaian berkali-kali, kini hanya dipakai beberapa kali dan dibiarkan menumpuk di rumah. Tak jarang tas spunbond ini digunakan sebagai pembungkus dari sampah yang akan dibuang. Padahal, tas spunbond ini memiliki materi yang jauh lebih sulit terurai dibandingkan dengan plastik.
Kejadian serupa berlaku juga untuk pengganti plastik lainnya, seperti sedotan stainless steel, botol minum, dan sebagainya. Durasi pemakaian dari barang-barang tersebut hanya beberapa kali, dan mengakibatkan potensi permasalahan sampah yang lebih besar di kemudian hari.
Tambal Sulam Permasalahan Limbah Domestik
Kembali ke tahun 1959, Sten Gustaf Thulin seorang insinyur Swedia menciptakan kantong plastik yang bertujuan untuk menyelamatkan bumi dari penggunaan kantong kertas. Pada masa itu, kantong kertas dinilai sangat rapuh dan memiliki keterbatasan untuk dipakai ketika basah. Selain itu, kantong plastik diharapkan dapat menjaga lingkungan, karena berkurangnya produksi kertas berdampak pada pengurangan penebangan kayu di hutan. Namun, yang tidak diketahui secara umum terkait penemuan kantong plastik ini ialah tujuan awal dari kantong plastik ini untuk penggunaan secara berulang, seperti yang direncanakan pada tas spunbond saat ini.
Berkaca pada perjalanan peralihan dari kantong kertas, kantong plastik hingga menjadi tas spunbond; terlihat bahwa permasalahan lingkungan akan terus bermunculan jika jumlah limbah domestik yang dihasilkan tidak dikontrol. Perlu adanya peran serta dari banyak pihak untuk menumbuhkan kesadaran dalam mempertimbangkan segala sesuatu yang dipakai dimulai dari proses produksi hingga proses pengolahan limbahnya.
Pilah dan Buang pada Tempatnya
Melihat penuhnya TPA di Indonesia dan rumitnya pemecahan masalah limbah domestik, tentu terlintas pertanyaan, "Andai pemerintah memiliki fasilitas pengolahan sampah yang lebih baik di TPA, tentu tidak perlu serepot ini bukan?". Sayangnya, jawabannya sama, tetap perlu serepot itu. Hal ini bisa terlihat dari bagaimana usaha yang dilakukan oleh negara lain, contohnya Singapore dalam mengatasi permasalahan ini.
Singapore memiliki tempat sampah khusus untuk menampung material yang dapat didaur ulang, seperti kertas, logam, plastik, dan kaca. Material-material tersebut nanti dibawa ke Material Recovery Facility (MRF) untuk dipisahkan dan didaur ulang. Pemilahan sampah dilakukan berdasarkan jenis material dan kondisinya. Dalam video yang dibuat oleh CNA Insider tahun 2023, 60 - 70% sampah yang masuk ke dalam fasilitas tersebut tidak dapat didaur ulang karena sudah terkontaminasi. Kontaminasi yang paling sering ditemukan ialah sisa makanan atau minuman yang bercampur dengan sampah yang didaur ulang.
Proses daur ulang sampah bukan merupakan hal yang sederhana yang bisa dilakukan oleh beberapa kelompok saja. Inisiatif ini memerlukan tindakan secara kolektif untuk menjaga lingkungan dari limbah domestik. Maka, saat ini tidak hanya perlu membuang sampah pada tempatnya, namun perlu melakukan pilah sampah dengan bijak.
Kenali "Tempat" yang Tepat untuk Sampahmu
Sampah yang sudah dipilah memiliki tempatnya masing-masing untuk selanjutnya diolah kembali. Saat ini, sudah banyak perusahaan atau gerakan yang membantu untuk mengolah sampah-sampah dan sudah tersebar di berbagai wilayah di Indonesia.
Rekosistem, merupakan salah satu perusahaan pengelola sampah yang dapat menerima berbagai material seperti kertas, plastik, kaca, logam dan minyak jelantah. Per tahun Januari 2024, Rekosistem sudah memiliki lebih dari 30 titik untuk menerima sampah dari masyarakat. Sebagai bentuk untuk menarik partisipasi masyarakat, pihak Rekosistem memberikan insentif pada setiap kilogram sampah yang disetorkan. Selain Rekosistem, terdapat perusahaan lain yang membantu daur ulang, seperti Ecotouch untuk menampung kain atau baju tidak layak pakai atau EwasteRJ untuk menampung segala jenis sampah elektronik.
Dengan memiliki kesadaran akan pentingnya pengelolaan limbah domestik, diharapkan generasi saat ini dapat menyiapkan planet yang tepat untuk generasi mendatang. Tidak hanya tersedia area yang layak untuk tempat tinggal, namun juga kebiasaan untuk menjaga lingkungan dari limbah domestik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI