Mohon tunggu...
Win WanNur
Win WanNur Mohon Tunggu... Freelancer - Kopi dan Traveling

Pembaca kompas yang menulis novel

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kurikulum, Mengembangkan atau Justru Membunuh Kecerdasan?

10 Juli 2019   00:27 Diperbarui: 10 Juli 2019   02:33 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di zaman mudahnya mendapatkan informasi ini. Pada umumnya. Kita orangtua, begitu memperhatikan asupan makanan yang masuk ke tubuh anak-anak kita. Memeriksa dengan ketat, kandungan gizi dan zat-zat yang ada dalam makanan yang akan kita berikan ke anak kita, supaya si buah hati tumbuh sehat sentosa.

Tapi, berapa banyakkah dari kita yang pernah memperhatikan "zat-zat" apa saja yang dimasukkan ke alam pikir anak kita. "Zat-zat" yang akan menentukannya di masa depan nanti akan menjadi manusia seperti apa.

Berapa banyakkah dari kita para orangtua yang pernah mengecek buku pelajaran anak-anak kita dan memperhatikan apa saja yang diajarkan oleh sistem pendidikan negeri ini untuk membentuk karakter anak-anak kita. Sistem nilai yang akan menentukan, kelak anak-anak kita akan menjadi manusia seperti apa.

Menjelang tahun ajaran baru ini, sekedar untuk berbagi dengan sesama orangtua. Saya membagi kembali pengalaman saya, ketika mengecek buku pelajaran wajib yang diberikan oleh sekolah anak saya ketika masih duduk di bangku SD kelas 1 dulu.

Waktu itu, tahun 2011. Anak saya akan memulai hari pertama sekolahnya di salah satu SD yang kami pilih setelah melalui berbagai seleksi yang kami lakukan terhadap banyak sekolah lain. Sebelum proses belajar mengajar dimulai. Pihak sekolah membagikan buku-buku teks yang akan menjadi beban pelajaran bagi anak saya semester itu.

Salah satu dari buku yang diberikan kepada anak saya kala  itu adalah buku IPS untuk Kelas I SD yang diterbitkan oleh penerbit Yudhistira, dengan Tim Penyusun Dra. Indrastuti, Dr. Sutisnan Rochadi dan Dwi Suyanti,S.Pd yang ditulis dengan standar ISI 2006. Saya sebagai orang tua tentu saja penasaran. Seperti apakah nilai-nilai yang akan diajarkan kepada anak saya di tahap paling awal proses hidupnya menjadi manusia terdidik.

Ketika buku ini  saya baca dan membuka lembar demi lembar halamannya satu persatu. Ya Allah, saya benar-benar shock. Buku ini alih-alih menginspirasi anak dan mengembangkan rasa ingin tahunya. Setelah satu semester dijejali dengan informasi dan segala tata nilai yang diusung para penulis buku ini.

Menurut saya, kemungkinan terbesar yang terjadi adalah matinya kreatifitas anak akibat dari massifnya doktrin yang membatasi imajinasi anak sebatas apa yang sudah digariskan (menurut saya secara tidak cerdas) oleh para penyusun buku yang semuanya berpredikat sarjana bahkan satu berpredikat doktor ini.

Contoh pembatasan dengan doktrin yang menurut saya tidak cerdas ini bisa kita lihat di lembar evaluasi pada halaman 22 dalam buku tersebut.

Di lembar evaluasi, para penyusun meminta anak memilih jawaban paling tepat terhadap pertanyaan seperti ini;

Pengalaman berbelanja biasa dilakukan bersama...
a. adik
b. kakek
c. ibu

Melihat pasar malam merupakan pengalaman yang...
a. menyenangkan
b. menyedihkan
c. menakutkan

Terus terang, saya benar-benar tidak paham. Apa yang ada dalam pikiran para penyusun buku bergelar sarjana ini saat membuat pertanyaan evaluasi semacam itu kepada anak SD kelas I yang imajinasinya masih sangat luas. Saya sulit menemukan point apa yang diharapkan oleh para sarjana ini dari anak-anak yang masih polos dengan menjawab pertanyaan seperti yang mereka susun.

Pada pertanyaan pertama.  Sebagai orang dewasa, kita mudah menduga kalau jawaban yang mereka inginkan jelas IBU. Tapi apakah semua anak mutlak harus memiliki pengalaman seperti itu? Saya tak tahu bagaimana menurut anda. Tapi kalau menurut saya. Jelas tidak! Sebab tiap anak sudah pasti memiliki pengalaman yang berbeda.

Contohnya, anak saya yang menjadi target dari evaluasi yang mereka buat ini. Mendapati pertanyaan seperti ini, dia bukannya menjawab tapi malah emosi. Sebab tidak satupun dari pilihan itu yang cocok dengan pengalamannya.

Anak saya lahir di Bali. Sejak dia lahir sampai kami pindah ke Karawaci, kami tak punya keluarga di Bali. Dia anak tunggal. Kakeknya cuma dia temui waktu liburan. Sementara ibunya, tak pernah suka pasar. Dia tak suka baunya dan tak bisa menawar.

Jadi di keluarga kami, sayalah yang biasa pergi berbelanja ke pasar. Tidak seperti ibunya, anak saya sangat suka ke pasar. Tapi pengalamannya ke pasar tentu saja bersama saya. Tak satupun dari tiga pilihan yang diberikan oleh penyusun buku ini yang cocok dengan pengalamannya.

Masalah dalam pertanyaan ini tak selesai di situ. Mengamati pertanyaan ini. Sebagai orang dewasa, kita dengan mudah bisa melihat adanya bias gender dalam pertanyaan evaluasi ini. Pertanyaan evaluasi ini memperkuat stigma bahwa perempuan memang diciptakan oleh Tuhan hanya sebatas mengurusi bidang domestik dalam rumah tangga.

Tapi bayangkan. Yang menjadi target dari nilai-nilai yang didiktekan oleh buku ini adalah ANAK KELAS I SD. Mereka jelas tidak punya sikap kritis seperti kita manusia dewasa.

Bayangkan kalau kita sebagai orangtua tidak mendampingi anak-anak ini membaca buku itu. Jelas mereka akan menelan mentah-mentah doktrin yang ditulis di buku dan diajarkan oleh guru sekolahnya yang dia hormati dan kagumi. Sikap bias gender yang ditanamkan oleh para sarjana pendidikan penyusun buku ini pun segera menjadi nilai awal yang dia terima di masa paling awal masa pendidikannya.

Menjadi pondasi bagi karakternya sebagai manusia terdidik. Yang akan dia bawa sepanjang hayat. Nilai yang akan membentuk cara pandangnya terhadap dunia dan terutama manusia. Nilai yang akan menjadi "warna dasarnya" sebagai manusia dewasa terdidik.

Dan celakanya, anak saya yang menjadi target dari doktrin-doktrin yang didedahkan buku ini adalah PEREMPUAN!

Membaca doktrin yang sangat bias gender dan mengecilkan peran perempuan dalam kehidupan bermasyarakat ini. Tidak mengherankan kalau banyak orang berprasangka bahwa buku ini dibuat oleh tim penyusun yang semuanya laki-laki.

Tapi faktanya  malah sebaliknya saudara-saudara. Pertanyaan seperti ini justru dibuat oleh tim penyusun yang berisi tiga orang yang dua di antaranya (mayoritas) PEREMPUAN. Fakta ini dengan telak menghantam pandangan teman-teman saya para pembela hak-hak perempuan di Aceh, seperti Kak Suraiyya Kamaruzzaman dan adik saya Arabiyani yang getol mengkampanyekan "Hanya perempuan yang paling mengerti kebutuhan perempuan"... Ho ho ho...

Selamat datang di dunia nyata wahai kakak dan adikku. Inilah kenyataan itu. Banyak penelitian ilmiah yang membuktikan bahwa di Indonesia ini kaum perempuanlah yang paling getol melanggengkan dan memperkuat dominasi nilai-nilai patriarkis dalam masyarakat kita. Fakta bahwa dua dari penyusun buku ini adalah perempuan hanyalah salah satu dari sekian banyak bukti itu.

O.K, sekarang kita kembali ke soal evaluasi di buku ini.

Menurut saya, nuansa dan tata nilai yang akan diterima oleh anak-anak sebagai pondasi tata nilainya akan sama sekali berbeda seandainya para penyusun buku ini mengawali pertanyaannya dengan sebuah cerita tentang anak yang katakanlah bernama Wati yang biasa berbelanja dengan ibunya. Lalu dalam pertanyaan evaluasinya ditanyakan berdasar pengalamannya, dengan siapakah Wati biasa berbelanja? Ini jelas lebih masuk akal.

Setelah membaca buku ini. Sulit bagi saya untuk tidak menyimpulkan bahwa kurikulum pendidikan Indonesia tampaknya ingin membuat jutaan anak Indonesia menjadi hard disk berjalan dengan cara membunuh potensi kecerdasan, kreatifitas, daya imajinasi serta sifat kritis anak. Kurikulum pendidikan Indonesia tampaknya hanya ingin memproduksi anak-anak yang hanya bisa mengulang dengan tepat apa yang dikatakan oleh orang dewasa.

Jadi masihkah kita tidak peduli? Masihkah kita lebih sibuk membahas sistem zonasi dibandingkan dengan KURIKULUM yang menjadi jantung dari pendidikan negeri ini?

)Bersambung ke bagian II)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun