Ketika semua orang seolah sibuk dengan persoalan zonasi sekolah pada penerimaan murid baru. Orang-orang seolah lupa, bahwa dibandingkan persoalan zonasi. Ada persoalan yang lebih mengkhawatirkan dalam sistem pendidikan Indonesia. Kurikulum, yang tidak lain adalah jantung dari sistem pendidikan itu sendiri.
Terkait kurikulum ini, saya tak pernah bisa melupakan masa ketika kami sekeluarga masih tinggal di Karawaci di tahun 2010 sampai 2013, ketika anak tertua saya baru masuk sekolah. Masa itu adalah waktu-waktu yang menyiksa bagi saya karena menyaksikan bagaimana anak saya menghadapi kurikulum rancangan departemen pendidikan yang diterapkan di sekolahnya.
Saya benar-benar tersika tiap melihat soal ujian yang dibawa pulang oleh anak saya dari sekolahnya. Membaca soal-soal itu, membuat saya bingung karena sama sekali tak paham arah mana yang sebenarnya mau dituju oleh kurikulum pendidikan yang dijejalkan pada anak-anak kita.
Perasaan itu pertama muncul ketika saya melihat soal bahasa Inggris yang diwajibkan dijawab oleh anak saya dan teman sekelasnya yang saat itu masih duduk di kelas I SD.
Awal kekagetan saya berawal dari melihat soal bahasa inggris yang diujikan kepada anak saya dan teman-temannya.
Dalam berbahasa Inggris, anak saya bisa dibilang cukup menguasai bahkan dalam penggunaan sehari-hari, dia bahkan sudah lebih fasih dari saya sendiri. Membacanya juga sudah lancar. Â Karena dulu di sekolah lamanya yang bahasa pengantarnya sepenuhnya Bahasa Inggris, untuk anak kelas I pengajaran diarahkan untuk memahami maksud dari kata-kata itu.
Dalam sistem pengajaran di sekolahnya yang lama. Anak-anak disuruh mendengarkan kata-kata itu, mengucapkannya dan menuliskan apa yang mereka ucapkan dengan huruf yang mereka anggap sesuai dengan ucapan itu. Soal salah benar hurufnya tidak dipermasalahkan.
Tapi dalam bahasa Inggris, untuk anak kelas 1 SD saat dia bersekolah di Karawaci, yang diuji kemampuan untuk menuliskan kata-kata bahasa Inggris dengan benar, lengkap tanpa salah satu huruf pun. Nah di sini dia belepotan, karena tercampuraduk dengan bahasa Indonesia.
Apa sasaran yang mau dituju dengan kurikulum semacam  itu?...Saya sama sekali tidak paham.
Kemudian hal yang sama terjadi untuk pelajaran matematika. Melihat soal yang diberikan pada anak SD kelas I, saya sama sekali tak mengerti dan bertanya-tanya dalam hati apa orang-orang yang menyusun kurikulum ini nggak pernah tahu tentang kemampuan kognitif anak umur 6 - 7 tahun?
Masa untuk ujian matematika kelas 1, pertanyaannya digunakan bahasanya orang dewasa.