Ya di dekat desa ini terdapat pulau Menjangan yang terkenal dengan taman lautnya, terumbu karang yang indah dan ikan aneka warna.
Sebelum kedatangan LSM ini, masyarakat desa ini dan juga nelayan dari pulau Jawa sering menangkap ikan di terumbu karang itu dengan cara-cara yang kurang bertanggung jawab sehingga merusak terumbu karang.
LSM ini datang tidak hanya dengan bermodal penyuluhan, tapi mereka juga mengajak turis asing datang berkunjung.
Perlahan-lahan, nama desa inipun menjadi terkenal di manca negara. Turis semakin banyak yang datang dan hotel-hotelpun mulai bermunculan. Dan sebagaimana lazimnya, industri pariwisata adalah jenis industri yang memberikan dampak ekonomi paling merata. Berkembangnya pariwisata ini melahirkan biro-biro jasa penyelaman, usaha transportasi, restoran, spa dan usaha-usaha lain yang berkaitan langsung dengan keperluan para turis.
Gairah ekonomi di Pemuteran berkorelasi langsung dengan perubahan wajah Mushalla Nurul Hikmah. Menurut pengurus Mesjid ini, ketika hotel sudah semakin banyak, warga bermaksud merenovasi mushalla dan membuatnya representatif.
Ketika ide ini mereka sampaikan kepada pemerintah desa. Ide ini langsung disambut hangat oleh Perbekel Desa Pemuteran yang tentu saja beragama Hindu Bali, sebagaimana mayoritas warga Pemuteran. Perbekel adalah istilah yang dipakai di Bali untuk menyebut kepala desa, sebagaimana Reje di Gayo dan Geuchik di Aceh.
Menurut pengurus mesjid, terkait ide ini Pak Perbekel langsung menyurati hotel-hotel yang ada di Pemuteran agar menyumbang pembangunan mesjid ini. Perbekel mematok angka minimal 15 juta. Hotel Adi Assri yang berjarak sekitar 100 Meter dari Mesjid. Meski tamu hotelnya paling banyak mengeluh karena terbangun akibat mendengar azan subuh dari corong mesjid, menyumbang 60 juta.
Begitulah, akhirnya mushalla kayu berbentuk panggung berukuran 3,5 x 3,5 meter inipun bermetamorfosa menjadi mesjid Nurul Hikmah. Yang sekarang bahkan ruang wudhuknya pun lebih besar dibanding ukuran mushalla yang lama.
Ramadhan tahun ini, saya sempat berbuka puasa dan menunaikan shalat thawarih di mesjid ini. Saat itu, suasana di sana sudah sama persis seperti mesjid-mesjid lain di Bali. Ada ifthar bagi siapapun yang datang untuk menunaikan shalat maghrib. Lalu usai shalat maghrib, masih ada nasi bungkus lengkap dengan lauk-pauknya.
Seperti desa-desa Bali lain di mana muslim dan umat hindu Bali hidup berdampingan bergenerasi-generasi, tak pernah ada friksi apalagi konflik antara warga muslim dan warga Bali yang mayoritas di desa ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H