Mohon tunggu...
Daun hijau
Daun hijau Mohon Tunggu... Freelancer - Apa yang harus diterangkan, jika suram lebih menawan

Tetaplah menjadi hijau

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Merantau, Yang Kembali

22 April 2019   21:35 Diperbarui: 22 April 2019   21:39 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tak ada lagi yang sama, setelah kamu memilih jalan yang berbeda. Tak akan ada lagi tawa yang selalu bercerita tentang suka cita. Dan tak ada lagi senyuman yang menenangkan di setiap sapaan. Kini kamu telah menghilang. Tidak, kamu tidak menghilang. Kamu hanya mencari mimpimu. Mimpi yang tak akan pernah kamu temukan di sini.

Kamu telah memutuskan jalan yang terbaik untuk hidupmu. Kembali ke kampung halaman, tempat dimana kamu telahir kembali, untuk ke dua kali. Mungkin kamu telah lelah bertualang di tanah asing, dengan segala hal-hal yang menyakitkan.  Memendam rindu dalam kesendirian pada dua orang yang telah melahirkan. Menahan kesakitkan yang tak pernah kamu ceritakan, dengan alasan tak ingin menambah beban. Menerima setiap hinaan yang pernah kamu dapatkan disepanjang perjalan, karena kamu tahu ini adalah tanah perantauan yang sulit kamu taklukan.

Aku masih di sini, dan yang lain masih bertahan. Tak ada yang tahu, sampai kapan akan tetap berjuang. Ada kalanya ingin memeluk kampung halaman. Mencium aroma kesejukan dari tangan-tangan yang telah lama ditinggalkan. Atau sekedar menumpahkan tangisan pada bahu rapuh, yang selalu setia menanti kepulangan. Sampaikan salamku pada angin kebebasanmu. 

Aku tak menganggap disini adalah penjara kehidupan. Tapi, tanah di kampung halaman tetap menjadi yang ternyaman, walau tanah perantauan menghidangkan banyak keindahan.

Melangkahlah kawan, mulailah kehidupan barumu. Bawa semua pengalaman yang kamu dapatkan di tanah perantuan. Buktikan bahwa pergimu bertahun-tahun telah berbuah pengalaman. Ceritakan usiamu tak sia-sia di tanah yang berlainan. Dekaplah segala pedihmu, yang kini telah luruh dalam peluk ibumu.

Tak apa-apa, biarkan Aku dan yang lain terikat dengan tawamu, dengan segala ceritamu yang telah menjadi kenangan di sini. Di sana, kamu tetaplah melangkah, tapi sekali-kali menolehlah kemari, kami akan senang mengajakmu bercerita lagi.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun