Mohon tunggu...
Daun hijau
Daun hijau Mohon Tunggu... Freelancer - Apa yang harus diterangkan, jika suram lebih menawan

Tetaplah menjadi hijau

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Mimpi yang Patah

5 April 2019   17:54 Diperbarui: 5 April 2019   17:59 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wan, mimpi itu jauh sekali rasanya. Aku ingin menyerah saja. Kamu lihat, banyak teman kita jatuh di lubang ketidakmampuan itu. Mereka roboh, Wan. Mereka menumpahkan mimpi itu di tengah jalan, berserakan, terhina.

Wan, kubuang saja mimpi ini. Mungkin kita tak pantas bermimpi. Kita hanya orang kampung yang lebih sering makan ubi dari pada nasi. Kita kembali ke kebun, membawa cangkul, mengais kehidupan dari sebatang ubi.

Wan, aku hanya menunggu waktu saja. Meluruhkan mimpi, memakai jas dan berdasi. Pena dan buku ini berat di tanganku. Ayah dan ibu renta, tak punya banyak tenaga. Cangkul tak punya jiwa ditangannya.

Aku tak rela, Wan. Mereka tersiksa di hari tua. Biar aku saja yang bekerja. Biar ayah lebih tenang menghirup kopi hitamnya di rumah. Biar ibu tenang menanak ubi kehidupan di rumah.

Aku harus rela, Wan. Menjadi kuli di tanah sendiri. Sampai mati.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun