Wan, mimpi itu jauh sekali rasanya. Aku ingin menyerah saja. Kamu lihat, banyak teman kita jatuh di lubang ketidakmampuan itu. Mereka roboh, Wan. Mereka menumpahkan mimpi itu di tengah jalan, berserakan, terhina.
Wan, kubuang saja mimpi ini. Mungkin kita tak pantas bermimpi. Kita hanya orang kampung yang lebih sering makan ubi dari pada nasi. Kita kembali ke kebun, membawa cangkul, mengais kehidupan dari sebatang ubi.
Wan, aku hanya menunggu waktu saja. Meluruhkan mimpi, memakai jas dan berdasi. Pena dan buku ini berat di tanganku. Ayah dan ibu renta, tak punya banyak tenaga. Cangkul tak punya jiwa ditangannya.
Aku tak rela, Wan. Mereka tersiksa di hari tua. Biar aku saja yang bekerja. Biar ayah lebih tenang menghirup kopi hitamnya di rumah. Biar ibu tenang menanak ubi kehidupan di rumah.
Aku harus rela, Wan. Menjadi kuli di tanah sendiri. Sampai mati.