Mohon tunggu...
Al Hasan
Al Hasan Mohon Tunggu... Guru - Jalan Kesunyian Dan Kehinaan

Mencari Awalnya, Dicari Kesudahannya

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Konflik Keyakinan : Merekonstruksi Bangunan Toleransi Umat Beragama

20 Juni 2013   15:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:41 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konflik Keyakinan : Merekonstruksi Bangunan Toleransi Umat Beragama

Ada sebuah cerita diantara dua orang bersahabat disebuah warung kopi pada satu sore.

Sebutlah namanya Kang Rokib dan Mang Udin.

Kang Rokib," Mang, situ tahu tidak, kalau Pak RT sudah mulai gila?".

Mang Udin, " lah kok bisa? Memangnya geger otak Pak RT ?".

Kang Rokib," bukan! Justru dia sehat wal afiat. Tetapi belakangan ini saya perhatikan, kalau sholat, caranya lain. Beda dengan yang biasa kita lakukan. Pokoknya beda banget. Pasti belajar aliran sesat dikampung sebelah. Situ kudu hati-hati, nanti bisa ikutan sesat, musyrik dan tidak bakalan masuk surga!"

Mang Udin, " ahh Kang Rokib ini, jangan buru-buru ambil kesimpulan menilai Pak RT. Bisa jadi penilaian kita keliru. Saya tidak mau ikut-ikutan deh. Takut dibilang fitnah!"

Kang Rokib, " kamu gimana, Din! Kan jelas banget tuh orang sudah ngawur. Kok malah dibelain sih! Jangan-jangan situ ketularan ajarannya!"

Kebebasan memilih keyakinan.

Fenomena tumbuhnya aliran-aliran keyakinan dalam beragama sebenarnya bukanlah barang baru. Semua agama besar (Hindu, Budha, Yahudi, Kristen dan Islam) mengalami hal serupa dalam tumbuh kembangnya. Yahudi dengan Musa as bahkan telak mengalami perpecahan diawal dakwahnya tatkala Sang Nabi masih hidup ditengah umatnya. Adalah Samiri yang telah "kreatif" menggalang umat kala itu untuk mau menyembah anak sapi yg diklaimnya mampu berbicara. Tidak lupa ia lapisi patung anak sapi tersebut dengan emas yang dikumpulkan sehingga memukau sebagian umat dan menyembahnya. Tatkala Musa as kembali , beliau yang menemukan fenomena itu sambil mengurut dada, menyeru umat untuk kembali pada ajaran yang lurus. Sebagian sadar dan kembali. Namun sebagian lagi tetap meyakini argumen Samiri. Kemudian mereka pun menyingkir. Musa as pun bersabar dengan terus berikhtiar berdialog tak kenal henti sambil mendoakan.

Hal yang sama pun menimpa Isa as dan Muhammad saw tak lama setelah mereka wafat, aliran-aliran pun bermunculan. Ada yang masih dalam koridor kebenaran, ada pula yang melenceng jauh. Namun para nabi yang mulia ini dengan tak kenal lelah menyampaikan kebenaran disertai kelembutan akhlak. Cara Ini yang terus dipertahankan oleh para sahabat Isa as dan Muhammad saw.

Pertanyaan kemudian adalah, apabila umat menemui perbedaan, haruskah disikapi dengan perspektif amarah dan konflik atau membuka dialog untuk menemukan titik temu persamaan sebanyak mungkin sehingga melahirkan kedamaian dalam perbedaan.

Ayat-ayat suci Al Quran selalu menyeru pada kedamaian, saling mengenal dalam mencari kebenaran dan lapang dada guna memperbanyak meminta dan memberi maaf. Diitambah akhlak Nabi Muhaammad saw yang dikenal sejarah sebagai manusia paling pemaaf dan penyabar. Inilah esensi ajaran Tuhan, " saling belajar, saling memaafkan dan saling berlapang dada".

Toleransi yang sebenarnya

Pernahkah kita mendengar sekali saja Nabi Isa as menyeru umatnya untuk menyerang orang yang berbeda keyakinan apalagi melukai atau membunuhnya ? Jawabannya jelas tidak. Atau Nabi Muhammad saw pernah membalas orang-orang yang melempari beliau dengan kotoran hewan, batu atau meludahinya dengan menyuruh para sahabatnya menebas leher orang-orang itu ? Jawabannya tentu kita sudah mafhum. Tidak sama sekali!

Lihatlah apa yang beliau lakukan dengan mereka. Beliau mendatangi, menjenguk dan bermuka manis seraya berdoa " Ya Allah, mereka hambaMu juga. Kalaulah tidak hari ini, nanti aku percaya Engkau akan menunjuki mereka." Inilah titik sentral ajaran yang agung, Kelembutan dalam iman yang bersih menjadi tolak punggung dan cikal bakal menyebarnya ajaran Islam ke seantero bumi dan mudah diterima. Allah swt berfirman " maka balaslah sesuatu itu (kebaikan atau keburukan) dengan sesuatu yang lebih baik." Sesuatu yang lebih baik bermakna banyak, suci dan agung. Begitu banyak contoh dari para nabi terdahulu yang selalu menyiarkan kesantunan dalam beragama.

Sikap toleransi tidaklah terjadi begitu saja. Umat-umat yang berbeda keyakinan harus terus menggali inti-inti kesabaran akal dan hati sebelum melontarkan pemikiran dan isi hati. Mengasah emphati terhadap pemeluk agama hendaklah lebih dikedepankan daripada mencari kelemahan guna menjatuhkan. Maka cara-cara hidup berdampingan, gotong royong, saling menyapa dalam butir-butir kata perdamaian dan kerja sama akan mendatangkan maslahat bersama bagi siapapun dimuka bumi.

"...hendaklah kalian saling menebarkan kasih sayang dibumi, maka yang dilangit akan menyayangimu.." (Al Hadits).

Lantas bagaimana umat beragama menyikapi perbedaan keyakinan dalam se-agama ? Adalah tidak mudah membangun toleransi antar umat se-agama. Sejarah agama-agama besar menorehkan tinta kelam lewat perperangan diantara mereka sendiri selama beratus-ratus tahun. Sungguh besar kehilangan aset berharga dalam umat karena ketidakdewasaan para pemimpinnya. Kita mafhum, bahwa kumpulan orang bijak lebih sedikit daripada kaum awam. Maka tugas kaum bijaklah untuk memperbanyak kebijaksanaan ditengah masyarakat lewat ilmu pengetahuan dan pengalaman yang mereka miliki. Para filsuf, teosofis, alim ulama, pendeta, pastur, resi dan bhiksu dituntut untuk lebih kreatif dan inovatif dalam menumbuhkembangkan sisi-sisi humanisme yang egalitarian, inklusif dan universal. Lebih banyak berdialog, silaturrahmi dan aksi bersama dalam kesantunan dan kelembutan suri tauladan ditengah-tengah umat. Dan berhentilah menjadikan isu-isu agama menjadi komoditi mengejar keuntungan materil dan popularitas segelintir orang diatas kesusahan umat.

"...Sesungguhnya Kami menciptakanmu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa supaya dengan itu kalian saling mengenal. Dan yang paling baik diantara kalian adalah yang paling bertaqwa.." (Al Quran).

Beragama yang Hanif.

Apabila dirunut kembali kebelakang pada sejarah para nabi, bisa dipastikan mereka mengajarkan danmemberi contoh agar selalu bersifat penyayang, memaafkan dan kepedulian pada sesama, apapun keyakinan yang dianut. Adagium yang selalu dipegang teguh para nabi yaitu bahwa setiap manusia berproses untuk menjadi lebih baik dan bertaqwa dus banyak jalan dalam mendekatiNya sebanyak hembusan nafas makhluk. Maka dari itu Hak Memberi petunjuk mutlak milikNya sekaligus tidak seorang pun yang berhak menghukumi orang lain dengan kekafiran dan neraka.

Namun sayangnya kita sangat langka menemukan mutiara-mutiara kelembutan pada hati, kata-kata dan tindak-tanduk sehari-hari ditengah masyarakat. Tidak sedikit tokoh-tokoh umat justru memprovokasi untuk melakukan kekerasan dan penyerangan yang tidak saja melukai orang lain tapi juga merusak aset milik orang lain dan fasilitas umum yang sangat dibutuhkan masyarakat. Api dibalas api, angkara dibalas murka. Korban pun berjatuhan, roda ekonomi terganggu. Umat pun akhirnya menjadi miskin. Cara-cara gelap mata, gebyah uyah, hantam kromo tidaklah diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. Kalau lah beliau masih hidup saat ini, entah seperti apa perasaan beliau melihat ulah kita yang centang prenang. "Ummaty..ummaty, kata terakhir beliau tatkala sakaratul maut."

Dalam sepak terjang dakwah beliau, tidak pernah menggunakan metode agitator baik sumpah serapah, mengklaim paling benar apalagi menjatuhkan harkat martabat orang lain. Kata-kata beliau adalah yang paling santun, sikap beliau pula paling lembut. Bahkan beliau adalah yang paling kuat rasa malunya, takut akan aib-aibnya serta sering menangis sampai pingsan lantaran membayangkan siksa dan neraka diakhirat kelak. Beliau lah tempat rujukan para sahabat, keluarga, umat dan hampir seluruh manusia, malaikat dan jin ketika mereka kebingungan, tak tahu apa-apa dan mencari pertolongan. Apa sebabnya ? Tak lain karena pribadi yang agung selalu welas asih terhadap siapapun, membangun semangat untuk berbuat baik dan bertobat serta tidak menghujat atas kesalahan yang telah dilakukan.

Sehingga tepatlah ungkapan para sahabat radhiyallahum anhum yang berkata " kami heran dengan Rasulullah, beliau adalah Nabi yang telah dijamin surga, diampuni dosa dan kesalahannya, namun beliau lah yang paling rajin ibadahnya, paling besar rasa takutnya akan neraka, paling lembut bicaranya.." (Al Atsar).

Pekerjaan rumah umat beragama

Alih-alih kita sibuk menilai, memaki dan menjatuhkan pihak lain yang berbeda keyakinan dan pemahaman, alangkah baiknya setiap umat berbenah diri. Terlalu banyak waktu, tenaga dan energi yang terbuang selama ini. Disadari atau tidak, umat Islam sudah jatuh dalam kelemahan, kemiskinan, kebodohan, penjajahan nyata atau terselubung lebih dari 300 tahun. Bukanlah waktu yang singkat untuk menyadari itu. Mungkin bangsa-bangsa lain saat ini tengah mentertawakan kita dengan bangga. Cukup! Sudah cukup!

Mari mulai dari sekarang, diri Saya, Anda dan kita semua bergandengan tangan, memperkuat ukhuwah, membangun pondasi kesadaran iman, membersihkan niat, menyamakan tujuan, melupakan perbedaan, bahu membahu dalam bidang masing-masing membangun kesadaran akan entitas umat yang satu, maju dan berperadaban agung dalam semua sisi kehidupan serta memberi maslahat kepada seluruh makhluk yang ada dilangit dan bumi. Tak ayal lagi, rahmat sekaligus keberkahan akan turun dari segala arah langit. Dan bumi pun menjadi tempat yang indah untuk didiami kita bersama.

Akhirnya, kepadaNyalah kita serahkan segala urusan. Wallahu a'lam bisshowab.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun